33

81 14 3
                                    

"Dinda! Maneh kunaon!?"

Dafa berseru, berlari menghampiri Dinda yang berjalan di gang dengan wajah yang sembab. Langkah perempuan itu juga terlalu ringkih sampai Dafa harus memapahnya, takut Dinda tiba-tiba terjatuh. Ia kaget melihat Dinda ditengah kegelapan gang berjalan seperti setan, hampir membuatnya lari masuk ke dalam rumah sebelum tersadar kalau itu sahabatnya sejak kecil.

"Kenapa, Din?" Tanya Dafa khawatir, berniat membuka pagar rumah Dinda sebelum perempuan itu menahan tangannya dan meminta untuk dibawa duduk di kursi kayu depan toko kelontong keluarganya yang sudah tertutup.

Begitu keduanya sudah duduk, Dafa yang ingin bertanya lagi harus mengunci mulut saat Dinda terisak kecil sambil menutup wajah menggunakan telapak tangan. Dinda menangis tersedu-sedu, menahan volume suara sampai Dafa tidak sanggup untuk menginterupsi. Ia membiarkan saja Dinda menangis dan sesekali mengusap punggung perempuan itu meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Yona..." Dinda membuka suara ditengah tangisannya. Kedua telinga Dafa yang belum siap jadi tidak jeli dan harus mengerutkan dahi menebak apa yang Dinda katakan.

"Yona... datang..." Kata Dinda lagi, kali ini bisa didengar Dafa samar-samar.

"Dia ngapain!?"

Dinda tidak menjawab karena tangis perempuan itu kembali meningkat, teringat ucapan Yona yang menyakiti hatinya. Know your place... level...

"Salah, ya? Hiks... Dafa... kenapa kita lahir begini?"

Dafa tidak paham racauan Dinda yang tidak jelas. Tapi ia bersimpati mendengar pertanyaan retoris Dinda yang kadang juga sering ia tanyakan kepada diri sendiri saat lupa untuk bersyukur. Terkadang saja, jika melihat konsumen yang datang ke restoran menggunakan mobil yang mahal sedangkan ia bersama motor butut, masuk ke dalam dapur lewat pintu belakang restoran untuk menyiapkan makanan yang dipesan orang-orang itu.

"Kenapa, Dafa? Salah, ya? Kalau... kalau kita jatuh cinta... hiks... salah ya? Sama orang yang kaya?"

Walau racauan Dinda tidak jelas, Dafa bisa paham maksud sahabatnya tersebut. Ia pun menghela napas pelan, menepuk-nepuk punggung Dinda pelan. Tidak ada yang bisa ia katakan, karena pertanyaan Dinda tidak pernah pula terbersit dalam pikirannya. Selama ini, sejak lahir, Dafa tidak pernah berpikir untuk berteman atau berhubungan dengan orang kaya. Ia punya kehidupan yang terlampaui sederhana, yang hanya kepikiran untuk mencari cara bertahan hidup sampai tua, membahagiakan keluarga dan menikah dengan orang yang juga menyayanginya.

Menjadi kaya terlalu muluk bagi Dafa yang hidupnya biasa-biasa saja. Begitu pula yang awalnya Dinda pikirkan, sebelum bertemu dengan Matthew.

"Kenapa?" Dinda bertanya pelan sebelum terisak dan kembali meracau tentang kalimat yang dibeberkan Yona kepadanya.

Di sisinya, Dafa hanya bisa diam dan mengeratkan pelukannya pada bahu Dinda, berharap apa yang ia lakukan bisa membuat perempuan itu merasa lebih baik.

~~~

"Kamu kenapa? Sakit?" Matthew bertanya gusar setelah mendengar suara Dinda yang sengau di balik telepon. Ia yang awalnya tengah berbaring di atas kasur segera menegakkan tubuh dan menekan tombol video di ponsel agar bisa merubah metode teleponan mereka.

"Iya. Jangan video call... nggak mau." Balas Dinda yang menolak metode itu hingga layar ponsel Matthew kembali seperti semula.

"Sakit apa? Mau dibeliin obat, nggak? Di toko ada obat?" Cecar Matthew khawatir bahkan sudah siap turun dari kasur untuk berangkat mencari obat untuk Dinda sebelum perempuan itu menenangkannya.

"Ada, kok. Udah minum." Kata Dinda sengau, yang sesungguhnya berbohong karena ia tidak benar-benar sakit.

Suara Dinda yang serak dan hidungnya yang mampet sendiri diakibatkan oleh tangisannya beberapa jam yang lalu kepada Dafa sambil bercerita tentang pertemuannya dengan Yona di tempat les. Ia tidak mungkin jujur kepada Matthew atau pria itu akan murka dan melakukan hal buruk kepada Yona. Dinda tidak menginginkan hal itu meski Yona sudah menamparnya pula.

"Kamu nggak ujan-ujanan, kan?"

"Nggak. Besok juga sembuh, kok."

"Serius?" Matthew sedikit lega meski ada perasaan memburu yang membuatnya ingin tancap gas untuk bertemu Dinda malam itu juga.

"Hm... Jadi mulai besok, kamu bakal ngurusin toko di Cibadak, ya?" Dinda merubah topik, teringat akan toko yang dibeli Matthew di Cibadak atas nama Manendra yang akan menjadi urusan barunya setelah keluar dari rumah.

Dinda tidak tahu banyak soal toko itu. Matthew tidak banyak bercerita, hanya berkata akan fokus untuk memulai restoran baru dengan manajemen yang semuanya akan ia urus sendiri. Sebuah hal yang baik karena setidaknya Matthew tidak terlalu bergantung kepada orangtuanya. Bahkan Dinda kaget saat tahu Matthew sudah membeli toko untuk membuat restoran sendiri.

"Iya. Mulai besok, aku juga mau antar-jemput kamu ke tempat les, ya."

"Jangan!" Pekik Dinda tak tertahankan.

"Kenapa? Aku nggak suka kalau kamu balik sama Jordan Jordan itu. Dia tahu kamu udah sama aku lagi, kan?"

"T-tahu... cuma... ya, jangan aja, Matthew."

"Jangan kenapa?" Matthew bertanya heran, kedua alisnya hampir bertaut menunggu Dinda memberikannya penjelasan yang masuk akal.

"Ya, biar kamu nggak capek. Bolak-balik juga kalau nganter-jemput aku."

"Waktu aku masih banyak, kok, Dinda. Toko masih rencana dipugar dulu. Beberapa hari ini aku cuma meeting sama Jay buat ngobrolin konsep restoran, tasting menu di dapur dia. Not much."

"Still,"

"Aku bakal tetep jemput dan ngantar meski kamu nolak. Daripada aku cemburu liat Jordan, kamu milih mana?"

Selama beberapa saat telepon itu hening. Dinda belum menjawab pertanyaan Matthew yang sengaja diam untuk membiarkan Dinda paham maksudnya ingin mengantar dan menjemput perempuan itu ke kantor. Tentu saja karena Jordan. Mang Aceng pernah cerita ke Matthew soal seniornya itu yang suka mengantar-jemput Dinda saat ia mencari tahu soal hubungan mereka beberapa waktu lalu.

"Kenapa cemburu sama Kak Jordan, sih?"

"Aku masih inget, loh, waktu kamu sama dia di nikahannya Vero." Balas Matthew dingin, sukses mengunci mulut Dinda lagi.

Kejadian yang menakutkan pikir Dinda. Sebuah momen yang tidak ingin ia ulang lagi di dalam hidupnya.

"Kalau Jordan ngajak pergi atau pulang bareng langsung tolak, ya. Aku bakal jemput dan nganter." Titah Matthew pada akhirnya diiyakan oleh Dinda yang tidak bisa berkutik.

Diam-diam Dinda hanya bisa berharap kepada Tuhan, berdoa agar Yona tidak akan datang lagi ke tempat les atau perempuan itu semakin membencinya.

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang