38

72 16 1
                                    

Matthew bersandar di dalam mobil yang terparkir di sebuah basement hotel, tepat berhadapan dengan parkiran motor karyawan yang diperhatikannya sejak beberapa menit lalu. Setelah bertemu dengan Yona, ia segera tancap gas ke hotel tempat Dinda bekerja untuk menjemput perempuan itu sekalian ingin berbicara serius tentang masalah yang keluarga Dinda alami. Tentu saja Matthew merasa bersalah, karena dirinya, kehidupan Dinda jadi tambah ruwet.

Cukup lama Matthew menunggu, sampai ia hampir menelpon Dinda saat melihat siluet perempuan itu muncul dari pintu belakang hotel. Buru-buru ia keluar dari mobil, berlari menuju parkiran motor.

"Dinda!"

"Matthew!?" Dinda dan Dafa sontak berseru melihat Matthew sedikit terengah-engah muncul di depan mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Matthew!?" Dinda dan Dafa sontak berseru melihat Matthew sedikit terengah-engah muncul di depan mereka.

"Dafa?" Matthew mengerutkan kening, melihat Dafa mengangkat dua jari ke udara membentuk tanda damai kepadanya. Ia tidak menduga akan bertemu dengan Dafa di hotel itu, Dafa yang mengenakan baju chef yang sudah kotor--yang langsung memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul di otaknya.

"K-kamu ngapain ke sini, Matthew?" Tanya Dinda heran, menutupi rasa gugup yang muncul karena telah tertangkap basah mengambil DW di hotel.

Tapi Matthew tidak menjawab pertanyaan itu, malah menatap Dafa dan berkata, "Dindanya gue yang anter pulang, ya, Dafa."

"Oh iya, Thew. Sok aja." Kata Dafa tanpa meminta persetujuan Dinda yang ingin protes, menerima helm perempuan itu dari Matthew yang merebutnya dari tangan Dinda.

" Kata Dafa tanpa meminta persetujuan Dinda yang ingin protes, menerima helm perempuan itu dari Matthew yang merebutnya dari tangan Dinda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku mau ke kantor, Matthew. Ada jadwal ngajar jam 4 sore." Sahut Dinda begitu Matthew memegang lengannya, ia memandang Matthew penuh harap dan yang ditatap hanya bisa menghela napas pelan.

"Iya, aku antar."

"Jangan marah." Pinta Dinda dengan suara yang sangat lirih sampai hati Matthew mencelus.

Padahal Matthew tidak berniat untuk marah. Ia hanya tidak suka melihat Dinda memaksa diri untuk bekerja terlalu keras, tidak suka Dinda memendam semua masalahnya tanpa menceritakannya kepadanya. Matthew tidak suka tapi tidak bisa marah karena sudah paham atas sifat Dinda yang satu itu. Di sisi lain, Dinda juga menyadarkannya jika mungkin sekarang raut wajahnya sudah sangat mengerikan sampai Dinda terdengar ketakutan saat melihatnya datang tiba-tiba.

"Temenin aku makan siang dulu, ya, Dinda." Kata Matthew lembut sambil mengusap lengan Dinda.

Melihat pemandangan manis di depannya membuat bulu kuduk Dafa meremang. Ia ingin sekali cepat-cepat kabur dari sana meski senang pula melihat sikap Matthew yang selalu lemah-lembut kepada Dinda. Besar harapannya agar Matthew bisa membantu permasalahan keluarga Dinda yang pelik, karena ia sendiri tidak bisa membantu apa-apa sejak dipecat dari restoran.

"Duluan ya, Dafa." Dinda pamit, melambaikan tangan pada Dafa yang membalasnya dengan cepat. Sedangkan Matthew menganggukkan kepala saja, kode pamitan kepada Dafa yang turut mengangguk sebelum cepat-cepat bergegas agar bisa segera pulang dan mengistirahatkan kaki yang lelah bekerja seharian di dapur mengenakan safety shoes.

~~~

"Aku tahu, Dinda." Matthew berkata serius, memandang Dinda yang sudah berganti baju setelah meminjam kamar mandi yang ada di Cafè Jay untuk membersihkan diri sebelum kembali bekerja sebagai tutor Matematika sore ini.

Setelah menjemput Dinda, Matthew lagi-lagi bertandang ke Cafè Jay yang ada di Pasir Kaliki. Satu-satunya tempat yang bisa memberikan rasa aman dan minuman teh yang enak ditengah suasana hatinya yang runyam. Ia juga bisa meminjam ruangan Jay untuk berbicara empat mata dengan Dinda yang masih terlihat enggan membeberkan masalah yang dialami keluarganya. Maka dari itu, Matthew pun mengakuinya secara mandiri agar Dinda bisa berbicara dengan gamblang.

"Aku tahu soal utang Ayah kamu dan Mami." Kata Matthew lagi hingga Dinda menutup matanya selama beberapa saat, mencari ketenangan.

"Iya, Matthew. Makanya aku ambil DW di hotel."

"Jujur aku nggak masalah kamu ambil kerja di hotel atau di mana pun itu secara halal, tapi... kenapa kamu nggak mau obrolin ke aku dulu?" Matthew bertanya dengan lembut, sedikit gemas karena sifat Dinda yang menyebalkan itu.

Di hadapannya Dinda menelan ludah dengan susah payah. Perempuan itu enggan menatap langsung ke matanya, malah menundukkan kepala menatap jemari tangannya sendiri yang sedang memilin celana.

"Din?" Panggil Matthew sedikit memajukan badan agar bisa mencari dua mata Dinda yang masih menghindarinya.

"Din--"

"Malu, Matthew." Kata Dinda lirih setelah mengembuskan napas gusar, ia sontak bergeser saat tiba-tiba Matthew berjongkok di sisinya, menarik kedua tangannya untuk dielus dengan lembut.

"Dinda," panggil Matthew kemudian, ia bergerak mengikuti arah pandang Dinda yang terus menghindarinya. "Liat aku, deh."

Suara lembut Matthew membuat dada Dinda bergetar. Ia senang mendengarnya tapi suara itu juga membuatnya ingin tersedu menceritakan uneg-uneg hati yang sejak kemarin ia simpan sendiri--tapi Dinda masih tidak ingin berkeluh-kesah kepada Matthew meski pria itu sudah tahu segalanya sehingga ia masih berupaya menghindari tatapan Matthew.

"Dinda, sayang..." Matthew meminta dengan lirih, sedikit berjinjit untuk mendekatkan wajah mereka hingga Dinda tertunduk dan menutup kedua matanya dengan rapat.

Hati Dinda sakit sekali, dadanya makin sesak dan akhirnya ia bersuara dengan suara yang serak, "Matthew, masalah ini pure dari Ayah. Aku malu nyeritainnya karena aku sama Mama juga nggak tahu kenapa Ayah minjem duit gaib itu."

"Iya, nggak apa-apa." Kata Matthew menenangkan, sedikit terkejut saat melihat air mata Dinda luruh sehingga ia menangkupkan wajah perempuan itu sambil mengusap air mata yang mulai membasahi pipi Dinda. Ia kini bisa berpandangan dengan Dinda meski tangisan perempuan itu terus turun dari pelupuk mata.

"Aku sama Mama nggak mau kamu ikut campur soalnya ini bener-bener masalah keluarga. Kita juga lagi usaha cari dana, kok. Meski susah, tapi aku sama Mama yakin bisa ngelunasinnya."

Matthew mengangguk, kedua sudut bibirnya sedikit tertarik, sedikit senang karena setidaknya Dinda mau bersuara. Itu sudah cukup baginya.

"Iya, paham, kok." Kata Matthew lagi, masih mengusap pipi Dinda lalu mengelus pundak perempuan itu dengan lembut. "Aku cuma nggak kepengen kamu mendam-mendam masalah sendiri, Dinda. Apa gunanya aku jadi pacar kalau kamu sendiri menutup diri?"

Dinda pun menggigit bibir, ia mengerjapkan mata beberapa kali. Berharap air matanya berhenti mengalir tapi malah sebaliknya, tangisnya semakin besar karena dadanya yang makin sesak. Ia sudah tidak bisa menatap Matthew karena pandangannya mengabur dan begitu Matthew memeluknya dengan erat ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bersedu sedan.

"It's okay, Cantik. It's okay..."

"Nangis aja sampai puas, hm?" Matthew berkali-kali menenangkan sembari mengelus punggung Dinda, mencium puncak kepala perempuan itu dengan penuh kasih dan mengeratkan pelukannya, berharap Dinda paham jika ia benar-benar ingin membuat perempuan itu merasa aman bersamanya, sekalian mendingingkan hati yang juga mulai panas mengingat orang yang membuat Dinda merana.

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang