5

120 27 2
                                    

Udara di Kota Bandung terasa makin dingin, ditambah angin yang bertiup cukup kencang di penghujung tahun. Ditengah dinginnya Bandung, Matthew tetap bertahan di kelokan Gang kawasan padat penduduk itu, memandang Dinda dari kejauhan. Dinda yang tengah membaca sebuah buku dengan serius di depan toko kelontongnya.

Matthew tetap tidak bisa menahan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matthew tetap tidak bisa menahan diri. Kali ini ia pergi ke kawasan itu bersama Manendra yang memutuskan untuk menunggu di dalam mobil yang terparkir di luar gang. Mang Aceng disuruhnya kembali ke rumah dan kali ini ia merasa sedikit lebih bebas karena kehadiran Manendra yang bisa menjadi alasan kuatnya untuk keluar rumah.

Katakan saja ia gila, Manendra sudah berulangkali mengatainya di kantor, di jalan bahkan saat ia ingin turun dari mobil. Matthew pun mengaku sudah gila. Kehadiran Dinda yang sudah lama hilang membuat hidupnya jadi sedikit berwarna--meski warnanya masih gelap karena rasa khawatir takut orangtuanya tahu dan rasa kecewa yang masih tersimpan dalam relung hatinya. Tapi itu lebih baik, membuatnya termotivasi untuk tetap hidup.

"Om! Om!"

Matthew terkejut saat seorang anak laki-laki menepuk-nepuk kakinya dengan kuat.

"E-eh? Kenapa? Kenapa?"

"Mau permen!" Seru anak kecil itu meminta dengan cukup kasar sampai Matthew mengerutkan dahi sambil menahan dua tangan anak itu dengan kuat.

"Lepasin!" Seru anak itu lagi dan Matthew melepasnya dengan mudah, hampir membuat anak itu terjungkal.

"Ma--"

"Riyan!!"

Matthew merasa seluruh tubuhnya menegang saat mendengar suara itu, ia bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya untuk berbalik atau berlari, hanya bisa mendongak mendapati sosok perempuan yang daritadi dilihatnya dari jauh, yang kini berada di depannya sedang berkacak pinggang, memelototi anak kecil yang tadi mengganggunya.

Dinda.

"Nggak boleh gitu, Riyan!" Seru Dinda gemas sambil mengacak rambut sang anak yang mengerucutkan bibir. "Cepat minta maaf!"

"Mbung!" Seru Riyan dengan langkah kecilnya berlalu dari hadapan mereka.

"Bejakeun siah ka si Mamah!" Seru Dinda kesal membuat Riyan memutar langkah dan meraih tangan Matthew untuk menyaliminya.

"Nya enggeus atuh, dah udah minta maap ieu." Seloroh Riyan menahan kesal lalu berlari meninggalkan mereka.

Kalau kondisi mereka baik-baik saja, mungkin Matthew akan tertawa mendapati kejadian itu, sayangnya tidak, sehingga ia hanya bisa terdiam mematung, memandang Dinda yang tersenyum kecut kepadanya.

"Maaf." Kata Dinda kikuk, memundurkan langkah, menjaga jarak aman dari Matthew yang kedua matanya berbinar menatapnya. "Itu, keponakannya Dafa. Emang nakal."

"Nggak apa-apa." Balas Matthew cepat, menutupi perasaan yang membuncah aneh di dadanya sekarang.

Dinda lalu menggulum bibir. Beberapa menit yang lalu Dinda dikejutkan oleh suara Riyan yang cempreng, yang memanggil seseorang dengan sebutan 'Om' dari jauh. Ia sampai menghentikan kegiatan bacanya dan melongokkan kepala dari depan toko untuk melihat Riyan yang memukul kaki Matthew dengan cukup kencang. Dinda pun buru-buru keluar dari toko untuk menghampiri Riyan yang hampir memekik saat Matthew mencengkram tangannya.

Matthew yang juga membuatnya terkejut setengah mati.

"Masih tinggal di sini?" Tanya Matthew to the point tanpa basa-basi hingga Dinda tersentak di hadapannya.

"I-iya..."

"Uang yang dulu dikemanain?" Tanya Matthew lagi, kali ini cukup lugas dan tajam, langsung menusuk hati Dinda dengan cukup kuat sehingga rasa sakitnya menyebar ke seluruh tubuh.

Dinda tidak langsung menjawab, perempuan itu memandang ujung kakinya tanpa ekspresi, tampak sedang berpikir sebelum mendongak untuk menatap Matthew tepat di matanya. "Beli rumah di GBI tapi dijual lagi, orangtua aku lebih suka tinggal di sini ternyata."

"Uangnya nggak cukup buat beli rumah di tengah kota, ya? Kalau mau aku bis--"

"Kamu ngapain ke sini?" Dinda memotong omongan Matthew dengan cepat, enggan mendengar omongan tajam pria itu hingga selesai, karena tahu ia tidak akan sanggup.

Kedua alis Matthew sempat terangkat, ia hampir ling-lung karena pertanyaan Dinda tersebut. Tentu saja ia tidak punya alasan selain ingin bertemu dengan Dinda. Tidak masuk akal kalau Matthew beralasan ingin membeli rumah di dalam gang padat penduduk itu, atau bertemu Dafa demi urusan kantor--karena mereka baru saja bertemu beberapa menit yang lalu.

"Mau make sure kamu dapat rumah yang layak."

"I did." Ucap Dinda sambil memalingkan muka ke arah lain. "Uangnya udah kepake lagi."

"Kepake buat apa?"

"Kuliah." Jawab Dinda sekenanya, diam-diam menghela napas gusar.

"Bukannya kamu dapat beasiswa?"

Kali ini Dinda benar-benar kaget, ia menatap Matthew dengan dua mata terbelalak. Tidak disangkanya Matthew tahu tentang beasiswa itu, padahal ia sempat gap year setelah lulus SMA sebelum mengurus beasiswa untuk berkuliah di salah satu universitas swasta di Kota Bandung. Ia mengurusnya setelah Matthew berkuliah di Australia, setelah hubungan mereka benar-benar putus.

"Kamu nggak bohong soal uang dari Mami itu, kan?" Tanya Matthew dingin, tapi tubuhnya condong ke depan, mendekati Dinda yang kehabisan kata-kata.

"N-nggak! Nggak! Uangnya ada, kok! Kepake! Persiapan kuliah!" Seru Dinda berapi-api dan Matthew nyengir--ia tahu Dinda tidak bisa bohong dan sikap perempuan itu sudah bisa menjawab rasa penasarannya selama ini.

"Baguslah." Ucap Matthew pelan.

"Y-ya! Bagus! Makasih, loh!"

"Sama-sama." Balas Matthew dengan tatapan yang mulai melembut tepat ke dua mata Dinda di hadapannya.

Sebenarnya Matthew belum benar-benar yakin, tapi dari jawaban dan sikap Dinda, ia tahu, uang itu hanya akal-akalan Dinda untuk memutuskannya. Mang Aceng juga sudah mencari tahu beberapa informasi penting, seperti keluarga Dinda yang tidak pernah pindah rumah ke mana pun (termasuk kawasan GBI), tentang beasiswa dan dunia perkuliahan perempuan itu. Bahkan Mang Aceng tidak pernah tahu soal uang yang disebut Dinda.

Namun, kenapa Dinda ingin memutuskannya?

Kini pertanyaan itu yang bergantung di benak Matthew. Sekali lagi ia ingin mencari tahu jawabannya.

"Katanya, kamu udah dapat kerja. Di mana?" Tanya Matthew kamudian, sedikit membungkukkan badan agar bisa menyamakan tinggi Dinda yang mencapai dagunya.

Dinda terkejut lagi, kedua matanya bergerak ke kanan, berupaya keras untuk berpikir mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tidak mungkin ia menjawab jujur, apalagi kemarin ia sempat menaruh CV-nya di restoran Matthew dan undur diri karena alasan yang tidak benar.

"Ada." Jawab Dinda asal. "Kenapa memangnya?"

"Aku butuh asisten. Kalau kamu belum dapat kerja, aku mau kamu menjadi asistenku." Jawab Matthew yang sebenarnya ngasal, tapi kalau Dinda mau, ia akan membuka lowongan itu tanpa ragu.

Matthew tidak tahu ada apa dengan mulutnya, tapi ia mengatakannya tanpa berpikir. Bahkan sangat berharap Dinda mengiyakan tawarannya agar ia tidak perlu kelelahan berjalan setiap hari masuk ke dalam Gang demi bisa melihat perempuan itu. Ya, Matthew ingin melihat Dinda setiap hari.

"Nggak. Aku udah dapat kerja." Kata Dinda keukeuh, nyalang menatap Matthew di hadapannya.

"Nggak bohong, kan?"

Kali ini Dinda tidak terkecoh, ia bahkan berani mendongak, membalas tatapan Matthew yang lembut dengan dua mata yang menyipit tajam. "Bohong pun aku tetap nggak mau kerja sama kamu, Matthew."

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang