11

110 22 5
                                    

"Eh? Udah balik?"

Dinda tersenyum tipis melihat Mamanya sedang menjaga toko kelontong mereka. Perempuan yang berusia 52 tahun itu tengah menggunakan kacamata baca, sepertinya tengah membaca sesuatu di ponsel yang cahaya layarnya cukup terang hingga Dinda meringis melihatnya.

"Biar Dinda yang jaga toko, Ma." Kata Dinda kemudian, setelah mengangguk kikuk merespon pertanyaan heran Mamanya barusan.

"Kamu nggak jadi ketemuan sama temen atau gimana, Din?" Tanya Mamanya lagi, sedikit bergeser untuk memberikan Dinda ruang di depan etalase tepung yang sering menjadi sandaran mereka selama menjaga toko.

"Udah."

"Cepet banget."

"Iya." Balas Dinda sekenanya, enggan ditanya lebih lanjut. Dadanya sesak kembali saat Mamanya kepo tentang pertemuannya dengan 'teman' itu. Dipikir Dinda, Mamanya tidak akan bertanya lebih lanjut.

"Kamu ketemu Matthew, kan?"

Tubuh Dinda menegang, ia terbelalak menatap Mamanya yang menarik setiap sisi bibirnya membentuk senyuman tipis. Selama ini, kedatangan Matthew ke toko tidak pernah terendus oleh kedua orangtuanya. Dinda juga tidak pernah bercerita karena tidak ingin membuat drama baru di rumah--dan menemukan bahwa Mamanya tahu ia baru bertemu dengan Matthew adalah hal yang mampu membuatnya terkejut bukan main.

"Maaf, ya, Mama denger obrolan kamu sama Dafa waktu kalian nunggu Mang Nasi Goreng." Kata Mamanya lirih sambil menyisir rambut pendek Dinda menggunakan tangannya.

Dinda tidak merespon, membiarkan tangan Mamanya di kepala yang sedikit membuat hatinya tenang. Sentuhan seorang Ibu memang luar biasa pikir Dinda.

"Mama senang kalau kalian bisa main bareng lagi kayak dulu. Jadi kangen pas dia ikut jaga toko sama kamu, Din. Lucu, ya, waktu itu hehe." Tawa Mamanya sambil mengingat masa lalu, masa-masa indah yang kenangannya berusaha dilupakan oleh Dinda sejak beberapa tahun ini.

Sayangnya kenangan itu sangat sulit dilupakan. Seluruh kenangan masa SMA-nya diisi oleh Matthew dan kebanyakan merupakan kenangan yang indah. Memang, biasanya orang akan lebih sering mengingat kenangan buruk daripada kenangan yang indah. Tapi bagi Dinda, kenangan indahnya bersama Matthew selalu terparti di dalam benaknya, enggan pergi meski Dinda mencoba move on.

"Mama nggak tahu, sih, perasaan kamu bagaimana sekarang. Tapi, kalau Matthew datang untuk menjalin silaturahmi lagi, ya nggak apa-apa. Silaturahmi juga baik, kan?"

"Dinda mau masuk ganti baju dulu deh, Ma." Kata Dinda tiba-tiba, tidak memperdulikan pertanyaan retoris Mamanya yang menggantung.

"Oh? Iya, sok aja." Balas Mamanya lalu mengacak puncak kepala Dinda sesaat dan membiarkan anak perempuannya itu melipir masuk ke dalam rumah dengan sikap yang sangat dingin.

Sambil berjalan masuk, Dinda merasa risau. Ia tidak suka bersikap seperti itu kepada Mamanya, tapi mengelak pun ia tidak ingin karena takut menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dalam pertemuan mereka hari ini. Cukup Dinda yang tahu dan kalau perlu kejadian hari ini dilupakan saja agar tidak mengganggu hatinya sampai kapan pun.

~~~

Manendra dan Jay memandang Matthew khawatir. Sahabat mereka itu menangis dalam diam sambil menyesap teh hangat yang dibuatkan salah satu karyawan Jay untuk menenangkan hatinya yang berkecamuk. Saat Dinda pergi, Matthew merasa hancur. Dadanya sesak sekali sampai ia tidak bisa membendung air mata yang kemudian jatuh di pipi. Matthew tidak meraung, hanya menangis pelan sambil memegang dadanya.

"Gue kira... nggak bakal sesakit ini." Kata Matthew lalu mengembuskan napas panjang.

"Lu masih sayang sama Dinda, Thew." Jay menyahut, bersidekap di depan Matthew yang menganggukkan kepala, tidak mengelak fakta itu.

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang