4

142 29 3
                                    

Matthew tidak sanggup menahan tawa melihat Manendra misuh-misuh sambil memasak di dapur restorannya. Sahabatnya itu baru sampai di Bandung, langsung ia tagih untuk dibuatkan steak untuk makan siang mereka, janji yang sempat terucap oleh Manendra saat Matthew berada di Australia ketika ia merindukan masakannya. Manendra tentu saja protes, masih ada hari lain untuk mewujudkan janji itu, tapi Matthew keukeuh sampai mereka menggunakan satu sisi dapur restoran untuk memasak.

"Lu kangen banget ama gue, kan, ya, Thew?" Tanya Manendra heran, fokus menunggu daging yang digorengnya matang sebelah. Ia melirik Matthew sekilas yang tengah bersandar di dekat meja kabinet samping kompor.

"Hahaha... iya, kan? Waktu kuliah lu setia banget stay di LA ampe nggak pulang-pulang."

"Gue kalau nggak disuruh pulang juga ogah." Rutuk Manendra makin meningkatkan tawa Matthew.

Kedua orang itu memang sudah bersahabat sejak kecil. Manendra yang saat itu masih tinggal di Bandung bersama keluarganya bersekolah di tempat yang sama dengan Matthew, satu kelas dari SMP hingga SMA. Begitu lulus SMA, keluarga Manendra pindah ke Jakarta sedangkan Manendra melanjutkan kuliahnya di LA, harus berpisah dengan Matthew yang memilih berkuliah di Australia. Selama itu mereka hampir tidak pernah bertemu lagi, kecuali saat liburan kuliah saat Matthew mengunjungi sahabatnya itu di sana.

"Gimana Yacht? Bisnisnya lancar?" Tanya Matthew kemudian membuat Manendra melongos.

"Gue udah bilang mau buka restoran Yacht aja, kan, di PIK? Bokap gue malah maksa nerima tawaran pemerintah buat sewa komersil." Risau Manendra sambil membalikkan steaknya di pan, ia sempat mengangguk puas melihat warna dagingnya yang cantik, berniat membuat dagingnya medium rare kali ini.

"Mending pemerintah dulu, sih, emang. Biar ke depannya dilancarkan." Kata Matthew membuat Manendra nyengir. "Kayaknya itu, deh, rencana terselubung Bokap gue, since kerjasama government musingin. Mending sama luar. Tapi, demi kebaikan perusahaan, kan?"

"You know it well." Balas Matthew menahan tawa.

"So--"

"MANG DADANG GOYYYAANGGG!! DIKIT LAGI MANGG!!"

Obrolan Matthew dan Manendra sukses terhenti saat seorang pria berseru kencang di dapur. Keduanya menengok ke belakang, ke sumber suara yang langsung diam setelah ditegur oleh teman-temanya.

"Dafa! Cicing sia! Itu ada owner." Kata head chef sambil menjitak kepala pria bernama Dafa itu dengan gemas. Matthew dan Manendra bisa mendengarnya dengan jelas karena jarak mereka yang tidak terlalu jauh dari TKP.

Dafa, sahabat Dinda yang bekerja sebagai salah satu cook di restoran Matthew langsung diam. Ia dan Matthew bertemu pandang dan Dafa langsung mengangguk, menunjukkan rasa penyesalannya kepada Matthew dan Manendra yang masih menatapnya tanpa ekspresi. Dafa merutuk di dalam hati, tidak tahu kehadiran dua orang itu karena baru saja selesai beristirahat di luar restoran.

"Maaf, ya, Pak Matthew." Kata Mang Dadang, head chef restoran dengan kikuk.

"Tidak apa-apa, Pak." Balas Matthew memaksakan senyum, melihat Mang Dadang sekilas sebelum kembali menatap Dafa yang membuang muka karena takut masih diingat olehnya.

"Dafa Ilyasa?? Daf--Dafa, kan!?" Seru Manendra tiba-tiba, membuat kedua mata Dafa terbelalak menatapnya.

"Masih inget aing, teu? Manendra!" Seru Manendra lagi, hampir melupakan dagingnya sehingga ia buru-buru mematikan kompor dan mengangkat satu tangannya yang masih memegang tongs untuk menyapa Dafa. Di samping Manendra, Matthew berusaha santai dengan dua mata yang tidak lepas dari Dafa--meski ia kaget karena Manendra berani menyapa sahabat Dinda itu.

Dafa sendiri sebenarnya enggan membalas sapaan Manendra, tapi nasi sudah menjadi bubur, ia membalas sapaan Manendra dengan mengangkat kedua tangannya di udara sambil tersenyum kecut kepada pria itu. "Ingat! Manendra! Manendra Basoeki!"

Manendra tersenyum penuh, memberi jempol ke Dafa yang harus kembali bekerja karena pesanan yang mulai masuk kembali dari restoran. Pesanan yang disyukuri Dafa karena ia tidak ingin menghampiri Manendra yang bersisian dengan Matthew yang dua matanya menyorotinya dengan tajam daritadi. Dalam keadaan seperti ini, Dafa lebih memilih disibukkan dengan pekerjaan daripada berbincang dengan Matthew atau Manendra meski melelahkan sekali pun.

"Mata lu, nyet." Bisik Manendra sambil menyikut Matthew sebelum kembali fokus ke steak-nya yang harus ia letakkan ke atas piring.

Matthew nyengir, "udah jadi?"

"Udah! Hayu dahar lur."

~~~

"Lu napa nyapa Dafa dah?" Tanya Matthew heran saat mereka duduk bersisian di sofa yang berada di ruangannya, makan siang bersama dengan steak buatan Manendra.

Manendra tertawa, "pengen aja. Lagian gue nggak bisa lupa kenangan waktu gue sama Dafa jadi obat nyamuk."

"Obat nyamuk?"

Kegiatan makan Manendra sukses terhenti, ia nyengir hingga gigi taringnya tampak kepada Matthew yang juga tidak bisa melanjutkan makan--penasaran dengan apa yang dikatakan Manendra soal 'obat nyamuk'.

"Waktu lu nge-date sama Dinda di Togamas anjir! Ingat kagak?"

Benak Matthew langsung mencari memori itu di otaknya. Ia dan Dinda memiliki banyak kenangan di Togamas, apalagi perempuan itu suka membaca buku. Hampir setiap bulan, saat berpacaran dulu, ia ke Togamas, menemani Dinda untuk membeli berbagai macam buku dari uang jajan yang ia sisihkan.

"Kencan kedua atau ketiga gitu, Thew... ingat, nggak?" Tanya Manendra retoris hingga Matthew menemukan memori itu di kepalanya.

"Oh? Waktu pertama kali ke Togamas, ya?"

Manendra menjentikkan jari. "Iya, njir! Tempatnya sumpek, sempit, jadi obat nyamuk pula. Gue sama Dafa langsung nyelonong keluar buat minum cendol. Mana pakai acara lupa dompet gue! Untung si Dafa bawa duit, dibayarin, kan cendol gue sama dia."

Matthew mengerutkan dahi, tidak tahu cerita itu karena yang ada dalam ingatannya hanya Dinda yang menjelaskan tentang beberapa buku kesukaannya di tempat yang penuh debu itu. Dinda yang tertawa saat ia terbatuk-batuk karena debu, Dinda yang membelikannya satu buku sebagai oleh-oleh. Dada Matthew sesak rasanya, ia tidak sanggup mengingat kenangan itu lagi dan melanjutkan makan siangnya dengan khidmat.

"Mang cendolnya nyebelin banget pula! Dikiranya gue nggak bisa bayar apa!? Uang jajan gue sehari juga bisa kali beli gerobak dia!" Seru Manendra, ngebut lagi seperti kereta.

"Sejak itu gue ngerasa berhutang sama Dafa. Sayangnya dulu gue lupa minta nomor dia buat di-save. Ntar gue minta medsos dia aja kali, ya?" Manendra bertanya retoris, meraih garpu dan pisau untuk melanjutkan makan siangnya dengan pikiran berkelana, membayangkan rencana untuk menghampiri Dafa kelak di dapur.

"Thew! Boleh, kan, gue samperin karyawan lu?" Tanya Manendra penasaran dan Matthew hanya bisa mengedikkan bahu.

"Terserah lu aja, Nen. Itu, kan urusan lu bedua sama Dafa."

"Nice!" Manendra tertawa cekikikan. "Ntar kalau nemu medsosnya Dinda, gue kasih tahu deh ke elu."

Salah satu alis Matthew terangkat, ia terkejut atas omongan Manendra, padahal sejak kemarin pria itu mengatainya gila karena ingin mencari tahu soal Dinda.

"Lu serius?" Tanya Matthew tidak percaya.

"Medsos doang mah nggak apa-apa kali. Siapa tahu Dinda udah punya pacar, kan? Up-nya di Medsos hehehe."

Mendengar pernyataan itu membuat Matthew kehilangan nafsu makan. Ia mendelik kepada Manendra yang masih cekikikan di hadapannya, tidak peduli tatapan tajamnya yang seperti ingin memakan Manendra hidup-hidup.

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang