46

66 12 0
                                    

Matthew menutup pintu kamar inap Mami dengan pelan berniat keluar untuk mencari udara segar setelah Maminya tertidur, sekalian menghubungi Dinda untuk memastikan perempuan itu sudah kembali ke apartemen dengan selamat saat ia melihat Papi masih duduk di salah satu bangku yang ada di lorong rumah sakit. Tubuh Matthew sukses terasa kaku, apalagi saat Papi menatapnya dengan tajam, menyuruh Matthew duduk di bangku sampingnya--yang langsung dituruti Matthew tanpa banyak tanya.

"Mami sudah tidur?" Tanya Papi dibalas Matthew dengan anggukan kepala.

"Hm... Mami-mu stress pemasukan restoran turun drastis akhir-akhir ini." Kata Papi tanpa ditanya, pria itu menghela napas pelan, memandang dinding rumah sakit dengan kosong. "Cuma katering sama restoran utama kita di Gardujadi yang stabil."

"Baru-baru ini atau gimana, Pi? Waktu Matthew masih ngurus, kemarin laporan semua kelihatan aman-aman aja."

"Orang bagian finance selama ini bikin laporan palsu, Thew." Ujar Papi gusar, mengejutkan Matthew yang langsung duduk berbalik sempurna menatap Ayahnya itu.

"Orangnya masih DPO, tapi laporannya udah masuk ke kepolisian. Mungkin pelaku bakal nambah, karena ternyata selama ini Papi ditipu sama karyawan sendiri." Lanjut Papi sambil nyengir, mengasihani diri sendiri yang bisa dilihat Matthew dengan jelas hingga hatinya mencelus. Papi dan Mami memang butuh karma, tapi Matthew tidak bisa pungkiri jika karma itu juga menyakitinya.

"Makanya, Papi nggak mau kamu berhubungan dengan orang-orang nggak jelas. Manusia-manusia yang begitu kalau dikasih hati akan meminta jantung. Maunya banyak kalau sudah dikasih enak."

"Papi!"

"Matthew harus buka mata lebar-lebar. Manusia yang nggak pernah dikasih permata sama Tuhan, sekalinya dikasih permata bakal minta lagi tanpa tahu cara ngerawatnya. Mereka maruk, makanya Tuhan nggak pernah ngasih permata buat mereka. Kamu paham, kan?"

Bulu kuduk Matthew meremang. Ia paham maksud Papi tapi tidak setuju dengan perumpamaan itu--yang merujuk pada pilihan hatinya, Dinda. Padahal Matthew berharap Papi fokus membicarakan masalah perusahaan keluarga mereka yang mungkin bisa ia bantu, tapi Papi malah menyerempetnya seperti Mami beberapa menit lalu.

"Papi mau Matthew pikir-pikir lagi soal pilihan Matthew. Jangan sampai kayak Papi, udah ngasih kepercayaan 100% malah dikecewakan."

"Tapi Dinda nggak gitu, Pi. Selama ini, apa Papi pernah lihat Dinda dan keluarganya nerima sogokan Papi sama Mami? Hutang yang mau dilunasin sama Mami aja nggak diterima." Matthew mengelak, sedikit emosi sampai ia harus meremas kedua telapak tangannya untuk menjaga kesadaran diri agar tidak berteriak marah kepada Papi di rumah sakit.

"Karena dia tahu memanfaatkan kamu lebih baik daripada uang yang nggak seberapa itu, Thew."

"PAPI!"

Kali ini Matthew tidak tahan. Ia segera berdiri dari kursi, kedua matanya berkaca-kaca menatap Papi yang membalasnya tanpa rasa bersalah. Kekecewaannya besar sekali sampai niatnya untuk tetap berada di rumah sakit menemani Mami hilang seketika.

"Seharusnya Papi yang harus buka mata lebar-lebar. Nggak pantas bagi Papi untuk nge-judge siapa pun, Papi bukan Tuhan yang tahu segalanya." Kata Matthew frustasi, menekan segala kalimatnya, memperjelas apa yang ia katakan meski tahu Papi tidak akan mendengarnya.

"Thew--"

"Apa Papi paham kalau apa yang Papi terima saat ini adalah karma? Apa Papi sadar kalau selama ini Tuhan menguji Papi dengan segala harta yang biasa Papi pakai buat nyogok orang?"

"Matthew!"

Rahang Matthew mengeras. Ia menyisir rambut ke belakang, tampak sangat kesal sampai tidak mengindahkan panggilan Papi yang juga mulai emosi dengan tuduhannya.

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang