12

106 22 1
                                    

Dinda mendekap map cokelat berisi CV-nya dengan erat, membuang rasa takut dan gugup yang sudah mengulitinya dari dua hari yang lalu setelah mendapatkan email panggilan interview dari sebuah lembaga kursus bagi anak sekolah di Kota Bandung. Lembaga baru yang dilihatnya di LinkedIn seminggu lalu. Ya, Dinda tetap mengirimkan CV meski komentar nyinyir Ayahnya sendiri, tetap mengikuti interview meski diantar tatapan nanar Ayahnya saat ia berpamitan dari rumah.

Daripada menunggu panggilan interview dari sekolah-sekolah swasta yang tidak pernah hadir, Dinda memilih untuk tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai Tutor yang sempat terhenti karena disuruh menjaga Toko selama setahunan ini. Dinda tidak bohong kalau ia juga butuh uang jajan. Memang tidak seberapa, tapi itu lebih baik daripada tidak digaji dan seharian di rumah mendapati tatapan tidak menyenangkan dari Ayahnya.

"CV-nya dibawa kan, Teh?" Tanya seorang resepsionis kepada Dinda yang langsung menyerahkan map cokelat dari dekapannya saat ia masuk ke dalam bangunan lembaga itu.

"Semuanya ada di sini, Teh."

"Oke. Sebentar." Ucap resepsionis itu, memilah semua berkas yang ada di dalam map lalu menyodorkan CV kepada Dinda.

"Silahkan masuk ke ruang 3 teh, bawa CV ini juga. Nanti dikasih ke yang wawancara, ya." Kata resepsionis itu lagi yang langsung dituruti Dinda.

Jantung Dinda berdegup sangat kencang, ia sudah pernah beberapa kali di-interview sebenarnya. Tapi tetap saja ia gugup. Sambil merapal doa di dalam hati, Dinda mengetuk pintu ruang 3. Begitu pewawancara di dalam menyuruhnya masuk, Dinda pun membuka pintu dan tersenyum lebar kepada tiga orang yang sedang duduk menghadap bangku kosong yang akan didudukinya sebentar lagi.

Dinda berjalan dengan teguh saat tiba-tiba salah satu pewawancara berseru dengan lantang hingga langkahnya terhenti.

"Dinda? Dinda Clarissa!?"

~~~

"Udah, ya, kamu udah fix keterima. Lusa nanti aku minta jadwalnya, jadi minggu depan kamu udah mulai ngajar." Jelas pria di hadapan Dinda terlampaui santai sebelum menyeruput kopi hangat yang tersedia di meja mereka.

" Jelas pria di hadapan Dinda terlampaui santai sebelum menyeruput kopi hangat yang tersedia di meja mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dinda meringis, "Kak Jordan, jangan gitu ih... nggak enak."

"Kenapa? Aku yang punya perusahaan, kok. Terserah aku dong." Kata Pria bernama Jordan itu sambil terkekeh.

Jordan Kristanto. Pria berwajah cantik seperti artis itu adalah Senior Dinda saat SMA. Senior yang hampir masuk dalam deretan siswa olimpiade Matematika bersama Dinda kalau tidak pernah bolos bimbingan, yang memanggil namanya saat ia masuk ke dalam ruangan untuk wawancara menjadi Tutor setengah jam yang lalu. Pria itu cukup dikenal Dinda secara dekat karena ia pernah minta diajari beberapa materi olimpiade saat sekolah dulu.

Setelah wawancara, Jordan pun langsung mengajak Dinda ke cafè yang tidak jauh dari bangunan lembaga kursusnya. Pria itu sangat senang melihat Dinda yang telah lama putus kontak dengannya setelah ia lulus dari sekolah. Sampai meninggalkan proses wawancara, menitipkannya pada karyawannya yang lain untuk melakukan wawancara kepada calon tutor yang datang.

"Tapi tetap aja, Kak. Harus adil, dong."

"Adil!" Seru Jordan dengan tengil. "Gimana mau nolak? Kamu udah jadi tutor sejak kita sekolah, Din."

"I-iya, sih..."

"Santai." Kata Jordan dengan senyuman yang lebar. "Lagian aku tahu kemampuan kamu sampai mana. Jadi Tutor nggak perlu bagus-bagus banget, yang penting bisa ngajar, bisa bikin anak-anak nyaman..."

"Siapa tahu, kan? Ada seleksi yang ketat?" Tanya Dinda kikuk, tidak menduga akan mendapati sifat Jordan yang hampir tidak pernah berubah sejak dulu.

"Malas."

Tidak mengejutkan. Dinda nyengir sambil menyeruput teh hangat yang ia pesan tadi. Kini ia mulai merasa rileks, entah karena teh yang ia minum atau senyuman Jordan yang tidak pernah luput di wajah.

"Aku kaget, sih, liat Kakak. Maksud aku... kenapa bisa kepikiran bangun Lembaga Kursus?"

"Seru aja. Why not, kan?"

Dinda menggelengkan kepalanya dengan heran. Jordan tersenyum usil. "Kamu sendiri, kenapa mau jadi tutor? Level kamu, tuh, harusnya dosen, Din."

"Dosen apaan." Elak Dinda segera.

"Itu yang aku ekspetasikan dari kamu, Din, bukan malah setia jadi Tutor."

Hati Dinda mencelus, ia tersenyum kecut ke arah Jordan yang menaikkan kedua alisnya--terkejut karena Dinda tampak tidak senang dengan perkataannya. "Ya, nggak aja, Kak."

"As expected, Dinda Clarissa." Jordan mengerutkan hidung. "Problem kamu nggak pernah berubah, Din. Masih insecure?"

"Nggaklah." Kata Dinda lalu menyandarkan punggungnya di atas bangku yang ia duduki.

"Iya." Kata Jordan keukeuh. "Kalau sama Matthew, gimana? Masih insecure juga?"

Dinda kaget. Ia bahkan tidak sanggup menegakkan tubuh, hanya bisa membelalakkan mata ke arah Jordan yang membalasnya dengan tatapan usil. Tidak disangka Dinda nama Matthew tersebut oleh Jordan. Padahal waktu sekolah dulu Jordan tidak pernah memperbincangkan hubungannya dengan pria itu seperti siswa lain. Kerjaan Jordan hanya mengusili orang, membuat masalah dengan guru atau membanggakan guru atas prestasi yang mengejutkan.

"Kalian masih pacaran, kan?" Tanya Jordan lagi.

"Nggak, Kak. Udah lama putus." Jawab Dinda kembali merasa tidak nyaman. Ia menyesap tehnya banyak-banyak untuk membasahi kerongkongan yang mulai kering.

Jordan terkejut. "Hah? Serius?"

"Iya. Kakak kemarin lanjut di NUS, ya? Gimana rasanya di sana?"

"Tunggu tunggu... kamu sama Matthew kapan putusnya?" Tanya Jordan tidak terkecoh dengan Dinda yang ingin merubah topik pembicaraan mereka hingga perempuan di hadapannya itu mendesah berat.

"Udah lama, Kak. Waktu lulus SMA udah putus." Akhirnya Dinda menjawab setelah diam beberapa saat.

"Ah... kenapa?"

Memang dasar Jordan. Ia sadar akan perubahan sikap Dinda yang defensif akan pertanyaannya mengenai Matthew, tapi karena penasaran, ia terus membombardirnya dengan tanya. Merasa harus tahu karena hubungan Dinda dan Matthew yang terkenal seantereo sekolah.

"Ada..."

"Orangtua Matthew, kan?" Tebak Jordan membuat Dinda menghela napas.

"Nggak, kok."

"Nggak mungkin. Orangtua Matthew, kan, sampai minta ke Mom Irene buat mindahin kamu ke kelas lain waktu itu."

Seperti tersambar petir di siang bolong, tubuh Dinda menegang. Perempuan itu duduk tegak dengan pandangan kosong ke arah Jordan. "Gi-gimana, Kak?"

"Iya, kan, orangtua Matthew minta kalian pisah kelas. Tapi karena peraturan sekolah, ya nggak boleh kecuali Matthew mau diturunin ke kelas yang lebih rendah dari kelas lain." Jelas Jordan lagi hingga Dinda speechless.

Itu informasi yang tidak pernah diketahui Dinda sebelumnya. Ia tidak heran, tapi tetap kaget. Kedua orangtua Matthew memang tidak pernah merestui hubungan mereka sejak SMA dan itu pula salah satu alasannya memutuskan Matthew.

"Nggak heran sih, Din. Orangtua Matthew, kan, emang keras banget. Makanya aku sempat heran kenapa dia berani pacaran sama kamu." Kata Jordan yang tidak direspon oleh Dinda.

Kini di kepala Dinda hanya ada bayangan tentang orangtua Matthew yang selalu menghantuinya saat ia masih SMA. Dua orang yang tampak baik-baik saja, namun diam-diam mengusiknya agar memutus hubungan dengan seorang Matthew.

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang