19. 🍛🍗

11 0 1
                                    

🐼🐼🐼🐼🐼

Alya mencuci wajahnya berulang kali. Lalu, menatap wajahnya di cermin sambil meringis malu. Sangat-sangat menyesal mengapa harus menangis di depan laki-laki itu? Dan lebih anehnya lagi, dari sekian banyaknya tempat kenapa harus bertemu disini?

Alya melirik setiap sudut ruangan toilet yang hanya ada dirinya seorang. Berusaha mengenyahkan kejadian tadi, namun tidak bisa.

"Please, gua malu banget." Alya mengusap wajahnya gusar. "Gua nangis itu sangking kebeletnya pipis."

Alya mengusap rambut dan menguncir asal rambut panjangnya. Lalu, berbalik badan dan ia baru sadar, lututnya terluka, karena terasa sakit jika di buat jalan.

Alya menunduk untuk melihat goresan tersebut. "Ngga parah, tapi perih banget."

Alya kembali berdiri dan membuka pintu toilet. Pandangannya sudah fokus ke depan, dan begitu kagetnya dia ketika melihat Theo berdiri bersender di dinding sedang menatap kearahnya.

Ni cowo nungguin?

Alya meneguk ludahnya pelan. Aturan dia marah kan atau kesal, bukan malah deg-degkan karena melihat penampilan Theo yang jujur kegantengannya nambah kalo pake kemeja hitam.

"Lo baik-baik aja kan?" tanya Theo mendekat.

Alya refleks mengangguk. "Baik. Gua duluan."

Theo lantas menahan pergelangan Alya supaya perempuan itu diam di tempat. "Gua minta maaf."

Alya melirik tangannya, lalu menepis pelan tangan Theo agar bisa lepas darinya. "Oke."

"Lo juga harus minta maaf," ujar Theo membuat Alya mengernyit heran.

"Kok gitu?"

"Bercanda," tawanya. "Gua traktir mau?"

"Ngga."

"Yaudah, kalo gitu ayo beli plester."

Alya melirik lukanya lagi. "Ngga parah, jadi ngga usah."

"Oke." Theo mengangguk menyetujui. Lalu, perlahan melangkah menjauh meninggalkan Alya.

Alya jadi heran sendiri, kok malah dia yang di tinggal. Aturan kan dia yang ninggalin.

"Theo!" seru Alya.

Mendengar panggilan itu, Theo menarik sebelah sudut bibirnya. Ia pun berbalik dan kembali menghampiri Alya. Satu alisnya terangkat.

"Gua mau lo ganti rugi," ucap Alya.

Perempuan itu agak tertegun sendiri karena tidak menyangka justru kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

"Lo mau gua lakuin apa buat lo?" tanya Theo.

Alya berusaha bersikap kalem. Padahal otaknya sedang berpikir keras membalas kata-kata Theo.

"Jadi, asisten gue selama seminggu," tegas Alya yang lagi-lagi kalimat itu di luar kendalinya.

Theo sedikit menimang-nimang permintaan Alya. "Kalo gua ngga mau?"

"Harus mau, kalo ngga mau gua sebarin berita lo kasar sama cewe," ujar Alya terlihat jelas di mata Theo jika cewe ini lagi panik.

Theo terkekeh pelan. Ia mengusap hidungnya yang tak gatal. "Cuma seminggu buat gantiin luka gores lo?"

Alya mengangguk mantap. Dalam hatinya tertawa, karena merasa ia berhasil menggores ego dari laki-laki ini. Namun, tawanya seketika berhenti ketika Theo menyetujui permintaan gilanya.

"Oke. Seminggu gue jadi asisten lo."

Alya seketika melongo. Bukan ini yang dia inginkan. Memikirkan mereka bersama dalam waktu seminggu saja sudah aneh apalagi kalau benar terjadi.

Who Am I? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang