Rumah Anderson begitu terlihat menyedihkan, sangat. Tidak ada suara orang mengobrol hanya ada suara tangisan. Warna hitam mendominasi suasana.
Alya melangkah masuk ke dalam di bantu Abigail di sampingnya. Sementara anggota keluarga yang lain sudah terduduk lemas di bangku yang di sediakan.
Air mata Alya sudah tidak bisa keluar lagi. Ia sudah lelah menangis tapi bibirnya masih merintih kesakitan. Beda dengan Abigail yang sudah kelihatan lebih tegar.
Di ruang utama, ke-empat peti jenazah terjejer rapih. Foto kakek, papah, mamah, dan kakaknya terpajang di atas peti.
Ke-empatnya langsung di ambil begitu saja dalam sekejap mata.
Alya merapatkan dirinya pada Abigail. Ia tidak kuat untuk terus menatap ke-empat peti itu.
Abigail semakin mengeratkan rangkulannya. Ia mencium pucuk kepala kakaknya. "Kita harus kuat," katanya.
Alya kembali menangis.
Hingga sekitar jam 5 pagi, orang-orang sudah mulai berdatangan memberikan ucapan belasungkawa.
Abigail dan Alya juga ayah dari Abigail menyapa dan menemani para tamu sementara tante Meriska masih terbaring lemas di kamarnya.
Ucapan belasungkawa di karangan bunga begitu banyak terpampang di pekarangan rumah.
"Ayo kak makan dulu," Abigail mengelus pundak Alya dari belakang. "Jangan bengong."
Alya sedang menatap lurus ke-empat peti tersebut. "Ngga kok," katanya.
"Ayo makan dulu," Abigail menggenggam erat tangan Alya. "Ntar duduk lagi disini."
Alya pun berdiri dan mengikuti kemana Abigail membawanya.
Tepat saat melewati ruang depan Alya tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia yang tadinya menatap lantai jadi mendongak.
Alya terpaku beberapa saat sebelum kembali menangis pilu. Seseorang yang berdiri di sana menatapnya sendu. Alya pun segera berlari memeluk Theo seerat mungkin.
Alya memiliki tempat pulang sekarang.
"Aku..."
"Suttt," Theo mengelus rambut Alya dengan pejaman mata yang lirih. "Aku disini,"
Alya menangis dalam pelukan Theo selama beberapa menit. Ia berkeluh kesah disana mengeluarkan semua rasa sakitnya yang mengganjal meskipun suaranya tidak akan terdengar jelas.
Theo terus mengelus rambut Alya. Ia bahkan mencium pucuk kepalanya berulang kali.
"Aku ngga mau kehilangan orang lagi," lirih Alya mendongak menatap Theo. "Aku takut Theo..."
Theo menunduk menatap Alya juga. Ia mendekatkan wajahnya membuat dahinya saling menempel.
"Aku takut..."
Theo mengelus kedua pipi Alya ikut meneteskan air mata.
"Tuhan jahat ngambil empat sekaligus," lirihnya. "Aku sama siapa? Aku, aku... aku durhaka sama papah mamah. Aku minta di keluarin dari keluarga terus sekarang jadi begini," jelas Alya tersedu-sedu tapi Theo paham.
"Kamu ngga durhaka sayang," gumam Theo pelan.
"Aku mau minta maaf sama mereka Theo... tapi mereka ngga dengerin aku, mereka ngga bangun. Mereka ngga bisa denger aku,"
Alya melepaskan pelukannya. Ia menggenggam tangan Theo dan mengajaknya untuk menemui kakeknya.
"Kakek... ini cowok yang aku ceritain. Dia yang nolongin Alya," Alya menatap peti kakeknya. "Dia sekarang disini buat nemenin aku. Kakek kan belum ngajak Theo mancing, katanya mau ngajak Theo mancing."

KAMU SEDANG MEMBACA
Who Am I? [END]
Teen Fiction── ALYA THEO There is no way for us Because, All the pain with us ©2023 / Kookiesbyjein noted : guys aku berterima kasih banyak bagi kalian yang sempetin waktu untuk baca dan ngasih vote di setiap chapternya dan ini beneran murni cerita karangan aku...