Bab 31

796 61 3
                                    

"Dari hasil pemeriksaan dokter forensik , waktu kematian Alifah sekitar jam empat subuh tadi. Penyebab kematiannya karena tertutupnya saluran pernapasan di tenggorokan. Sudah jelas tali yang mengikat lehernya adalah benda yang menjadi penyebab kematiannya. Korban juga menulis surat tentang alasan kepergiannya." Ucap Ronan pada Hadyan, Prasetyo, dan Untoro.

Mereka sedang melakukan pertemuan penting di kediaman Prasetyo yang ada di Rawasari.

"Apa isi pesan itu?" Tanya Hadyan penasaran.

"Dia mengalami gangguan kecemasan, sampai depresi karena bullyan dari netizen. Dia mengatakan bahwa dia merasa sudah tidak pantas ada di dunia karena merasa sangat berdosa." Ucap Ronan dengan nada kesal yang kental. "Tapi dari hasil pemeriksaan tim forensik, pesan itu di tulis karena adanya tekanan. Dari hasil bedah otak yang mereka lakukan , terdapat jaringan yang memberi sinyal kecemasan dan rasa takut sebelum waktu kematian."

"Maksudmu, mungkin saja dia saat itu sedang merasa terancam?" Tanya Untoro memastikan.

"Yang mereka katakan seperti itu." Jawb Ronan.

"Pembunuhan yang terlihat seperti bunuh diri." Gumam Untoro yang mulai sedikit was-was.

"Kau benar." Jawab Ronan yang ternyata mendengar gumamannya. "Terlalu banyak kejanggalan. Semua CCTV di area kompleks kostan wanita itu tidak berfungsi sejak jam 1 malam" ucapnya lagi yang membuat seluruh pasang mata menatapnya terkejut. Kecuali Prasetyo. Pria itu seperti sudah mengetahui lebih dulu mengenai kabar itu.

"Polanya terjadi sama persis seperti kasus penembakan Hadyan. Seluruh CCTV tidak berfungsi, tidak ada sidik jari, bahkan tidak ada saksi mata yang bisa memberikan keterangan."

"Bagaimana dengan CCTV milik tetangga?" Tanya Hadyan.

"Kau tidak dengar? Seluruh CCTV tidak berfungsi di area itu. CCTV yang berfungsi berada sepuluh kilo meter dari tempat kejadian." ucap Ronan yang terlihat kesal.

"Lalu kenapa tim penyidik menginformasikan kalau kematiannya adalah murni bunuh diri? Padahal ada kejanggalan yang membentuk pola pembunuhan sampai seperti ini. Tidak mungkin mereka tidak mengetahuinya kan?" Tanya Hadyan bingung.

"Aku yang mengutus orang untuk menyuap tim penyidik mengatakan hal itu ke publik" ucap Prasetyo yang membuat Hadyan terkejut. "Ada sidik jari putra bungsuku di engsel pintu kostan wanita murahan itu."

"Apa?! Bagaimana bisa?" Tanya Hadyan terlihat kaget.

"Ya Hadyan, aku juga bertanya-tanya. Bagaimana bisa sidik jari Sulistyo ada di sana sedangkan malam itu dia tertidur di kasurnya sambil memeluk Wina?"

Hadyan meneguk ludah mendengarnya. Untoro dan Ronan menegang.

"Aku banyak mendengar mengenai sikap bajingan Sulistyo, aku tidak menyangka dia bisa menjadi binatang yang menerkam keponakannya sendiri." Ucapnya dengan mata panas. Wajah tuanya terlihat sangat lelah ketika mengatakannya.

"Tapi sekarang bukan itu masalah yang harus kita bahas, melainkan kenapa bisa ada sidik jarinya? Kau dan Untoro hadir di pesta yang dia buat semalam. Apa kalian tidak mencurigai apapun? Mungkin saja pembunuh itu sebenarnya ada di sana juga"

"Kenapa Bapak bisa yakin pembunuh itu ada disana?" Sahut Untoro.

"Sidik jari itu baru berumur beberapa jam pada saat di temukan. Sedangkan malam itu Sulistyo berada di rumahnya untuk mengadakan pesta. Tentu saja kecurigaan mengarah ke pesta tersebut. Selain itu, Sidik jarinya juga menempel dengan pola yang tidak alami di engsel pintu. Seperti sengaja di letakkan di sana" kata Ronan yang menjawab pertanyaan Untoro.

"Ada yang mencuri sidik jari itu" gumam Hadyan.

"Ya Hadyan, ada yang mencurinya, dan entah bagaimana caranya pembunuh itu meletakkannya disana!" Geram Prasetyo. Dia melihat Untoro dan Prasetyo dengan pandangan lemah.

Devil Inside HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang