Bab 54

475 44 8
                                    

Dia belum mati. Itu yang di rasakan Hadyan ketika membuka mata. Kepalanya pusing dan tubuhnya terasa sangat lemas. Matanya pun berkunang-kunang. Dengan penglihatan kabur, dia berusaha menatap sekeliling ruangan yang terasa asing baginya.

''Dimana dirinya?" Pikirnya dalam hati. Ruangan itu bersuhu sangat dingin, terlebih pada lantainya yang terbuat dari marmer berkualitas terbaik. Hadyan mengetahuinya, karena dia juga memakai marmer jenis itu untuk lantai balkon kamarnya.

Tubuhnya menggigil, dia meraba tempat dimana peluru bius bersarang beberapa waktu yang lalu di lehernya. Syukurlah Sulistyo tidak segila itu menembakkan peluru logam ke arah nya. Jika tidak, mungkin saat ini dia sudah mati.

Hadyan kemudian mencoba bangkit dari posisi tidurannya. Susah payah dia bergerak dengan tangan terikat di belakang. Kepalanya masih terasa pusing karena efek dari peluru bius yang Sulistyo tembak tadi  belum juga mereda. Dirinya pun memilih duduk untuk meredakan sakit di kepalanya.

Sekelilingnya hanya tembok berwarna putih, sangat kontras dengan lantai marmer bercorak warna coklat kehitaman. Tidak ada furniture di dalam ruangan, begitu pun dengan jendela. Satu-satunya isi dari ruangan itu adalah dirinya. 

Hadyan terkekeh kesal. Bisa-bisanya dia tertangkap seperti ini. Padahal tadinya dia sudah yakin bisa melepaskan diri. Perhitungannya tidak pernah meleset. Anak buahnya seharusnya sudah sampai di jalanan itu. 

Brengsek! Padahal dia sudah mencoba mengulur waktu, tapi para cecunguk itu belum sampai juga untuk menolongnya? Kalau sudah begini Hadyan memilih menarik kembali kata-katanya. Para bodyguardnya ternyata tidak bisa diandalkan. Awas saja mereka kalau dia berhasil keluar dari sini, akan dia beri mereka semua pelajaran.

Hadyan menarik nafas dalam. Dia harus tenang, otaknya berpikir keras berusaha mencari jalan keluar dari tempat itu. Kalau dugaannya benar, seharusnya saat ini dirinya sedang berada di salah satu kediaman Sulistyo yang ada di Tangerang.

Hadyan lalu memusatkan perhatian ke arah pintu berteralis yang ada di depannya. Hanya lewat pintu itulah jalan satu-satunya untuk keluar dari tempat itu. 

Hembusan nafas Hadyan mulai terasa berat. Sepertinya Sulistyo niat sekali untuk memenjarakannya. Yah, wajar saja, pria itu memang sudah sepantasnya murka padanya. Hadyan menghancurkan nama baiknya yang sudah susah payah dijaga oleh keluarganya.

Berita mengenai menghilangnya Wina santer terdengar karena Sulistyo di duga membunuh perempuan itu. Bukti-bukti mengenai hubungan gelapnya dengan perempuan itu sudah tersebar di berbagai akun sosial media. Tidak hanya hubungan gelap mereka saja, melainkan terdapat juga banyak bukti potongan video Sulistyo yang menganiaya Wina juga ikut tersebar di jagat maya.

Sulistyo pasti tidak pernah menyangka, perbuatan bejatnya di rekam oleh orang lain. Rekaman itu sangat terencana. Bahkan di kamar tidurnya perbuatan asusila nya tidak luput dari tangkapan kamera.

Orang gila mana yang bisa meletakkan berbagai kamera di tempat paling pribadinya tanpa sepengetahuan dirinya? Sulistyo pasti sudah bisa menduganya. Selama ini selain para pelayan, cuma Wina yang di izinkan masuk ke kamar pribadinya. Jadi Sulistyo tidak pernah kepikiran kalau kamar miliknya sudah di sadap oleh seseorang.

Sulistyo juga yakin, Wina tentu tidak tahu tentang keberadaan kamera-kamera itu. Buktinya wanita itu tidak pernah membicarakan hal itu padanya. Lagipula tidak ada untungnya juga wanita itu merekam aksi asusila yang mereka lakukan. Jika ingin melapor, Wina sudah pasti melakukannya sedari dulu. Tapi wanita itu memilih diam dan menerima semua perbuatan brengsek Sulistyo padanya. Jadi di pikiran pria itu, pasti ada salah satu dari pelayannya yang berkhianat.

Dan dugaannya benar, salah seorang pelayannya mengundurkan diri sebelum kejadian tersebarnya video-video itu. Sulistyo tentu meminta anak buahnya mencari info tentang pelayan itu. Namun semuanya nihil, pelayan itu hilang tanpa jejak.

Devil Inside HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang