Bab 34

734 72 10
                                    

Pagi menyapa di kala mentari bersinar melewati jendela kaca. Dari luar, terdengar deburan ombak sayup - sayup menyapa indra pendengaran. Suara burung camar juga berkicauan tidak jauh dari jendela kamar. Daisy menduga, burung - burung tersebut sedang bertengger di daun kelapa yang menghuni hampir sebagian pesisir pantai.

Kamar yang Daisy dan Hadyan tempati merupakan Cabana yang memiliki pemandangan langsung ke arah pantai. Hadyan memilih Cabana terluas dan paling mahal di kawasan resort yang mereka datangi. Bila keluar dari pintu, Daisy dan Hadyan tinggal berjalan kaki sebentar untuk bermain air di tepi pantainya.

Secara perlahan, Daisy membuka mata dan mendapati sinar matahari menerpa wajahnya. Di halau nya sinar itu menggunakan sebelah telapak tangannya, sembari menyipitkan mata, dia singkap selimut yang menyelubungi tubuh telanjangnya.

Setelah beberapa saat, iris coklatnya akhirnya terbiasa dengan kilauan sinar mentari yang memancar malu - malu menyelibungi sisi ranjang yang dia tiduri, dia membuka mata dengan normal menyusuri suasana kamar yang terlihat klasik namun mewah.

Dia tidak lupa apa yang terjadi tadi malam. Hadyan terlihat sangat buas saat mereguk kenikmatan duniawi dari tubuhnya. Sebenarnya bukan hanya tadi malam, percintaan mereka juga selalu di warnai sikap dominan pria itu. Tapi tadi malam entahlah, Hadyan tampak sangat berbeda. Berulang kali dia meminta berganti gaya sampai Daisy merasa pegal di bawah sana.

Kewanitaannya juga perih, bahkan sampai pagi ini. Mungkin lecet karena Hadyan selalu memaksanya lagi dan lagi sampai tiga kali. Sebenarnya Daisy merasa senang, Hadyan selalu tahu bagaimana cara memuaskannya, menyentuh titik - titik sensitifnya. Namun seberapa pun dahsyatnya percintaan mereka, setelah melakukannya Daisy selalu merasakan hampa.

Seperti ada batu besar yang bercokol di hatinya, mengganggu ketentraman jiwanya. Daisy tidak tahu itu apa, dia hanya bisa membiarkan perasaan buruk itu hingga dia terbiasa merasakannya.

"Jam berapa sekarang?" Pelukan hangat dari belakang tubuhnya membuatnya sedikit berjengit. Daisy menundukkan kepala, melihat lengan Hadyan membelit pinggang rampingnya. Rasanya hangat, tubuh pria itu menghantarkan hawa panas yang menentramkan namun secara bersamaan membuatnya ketakutan.

"Belum tahu, belum ngecek jam" ucap Daisy. Dia menyingkirkan lengan Hadyan untuk bangkit dari tempat tidur. Tetapi lengan itu bergeming. Malah semakin erat membelit pinggangnya.

"Aku mau pipis Mas" rengek Daisy.

Hadyan mendesah, tapi tak urung membiarkan Daisy bangkit dari tempat tidur menuju toliet.

Setelah berada di toilet, Daisy menaruh kedua telapak tangannya di pinggiran wastafel. Dia menunduk, air mata hampir menetes di pipinya karena perasaan tidak jelas yang sedang dia rasakan.

Daisy sadar, kenapa bersama Hadyan membuatnya merasa hampa. Dia sedang membohongi dirinya. Ternyata bersikap baik - baik saja melelahkan seluruh sarafnya.

"Dek !" Terdengar gedoran pintu dari luar toilet.

"Sebentar !" Balasnya dengan suara serak. Dia tidak ingin Hadyan tahu mengenai perasaam buruk yang sedang singgah di hatinya. Cepat - cepat dia menghidupkan keran wastafel, kemudian membasuh wajahnya menggunakan air yang mengalir deras dari keran tersebut.

Setelahnya dia berjalan menuju pintu, berhenti sebentar untuk menghembuskan nafas panjang, lalu memutar kunci pintu.

"Kenapa di kunci?" Tubuh menjulang Hadyan berdiri di depannya. Wajahnya cemberut. Daisy membalasnya skeptis.

"Udah kebiasaan Mas" jawab Daisy sekenanya. Dia membalikkan tubuh berjalan lagi menuju wastafel yang di ikuti oleh Hadyan.

Daisy tahu suaminya sedang memandanginya heran, tapi seperti yang seharusnya. Dia hanya perlu berpura-pura bahagia.

Devil Inside HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang