Bab 45

862 62 8
                                    

Daisy merasa gelisah dalam tidurnya, dadanya terasa sesak, seperti ada seseorang yang sedang menimpanya.

Perlahan-lahan dia pun membuka mata, tampak di depannya rambut halus suaminya ada di depan wajahnya.

Dia pun mendesah samar, lalu tatapannya mengarah ke sekeliling kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Seingatnya tadi malam dia tertidur di sofa. Pasti Hadyan yang menggendongnya masuk ke kamar.

Kali ini desahan kasar lolos dari bibirnya. Satu malam lagi terlewati tanpa pillow talk atau bermesraan dengan suaminya.

Hadyan tidur menimpa dirinya seperti anak kecil yang sedang tidur di perut Ibunya. Daisy kemudian membelai rambut pria itu secara perlahan. Samar-samar dapat dia rasakan hembusan nafas halus suaminya yang masih tertidur lelap. Sepertinya Hadyan capek sekali. Biasanya laki-laki itu cepat terjaga bila ada suara sedikit, terlebih bila ada yang menyentuhnya.

Tapi kali ini pria itu justru bergeming. Dia masih berada di alam mimpi.

Tatapan Daisy beralih ke arah jendela kamar. Dari balik horden terlihat cahaya matahari mengintip dari ujung celanya.

Sebelah tangan Daisy lalu meraih remot horden yang ada di atas meja nakas. Dia tekan salah satu tombolnya, horden itu pun bergeser memperlihatkan pemandangan cerah di luar jendela.

Tidak berapa lama terdengar gemerisik dari arah dadanya.

Hadyan sudah terjaga, pria itu sedang menatapnya sembari tersenyum lemah.

"Pagi sayang" sapanya manja.

"Kamu pulang jam berapa Mas?" Tanya Daisy memulai perang di pagi hari.

"Jam 2" jawab Hadyan sekenanya. Dia mendusel kedua bukit kembar milik istrinya, bermaksud menggodanya.

Daisy jelas tergoda, tapi dia masih ingin marah-marah.

"Lama banget, kamu emang ngapain aja sih? Memangnya gedung di Senayan buka sampai jam segitu?" Dengus Daisy.

"Aku rapat untuk persiapan Pemilihan Umum tahun depan dek. Kami udah mulai membuat strategi supaya Pemilu tahun depan partai kami mendapat perolehan suara yang cukup, kalau bisa mendapat angka yang fantastis"

"Tapi masa sampai jam segitu?" Protes Daisy.

Hadyan tersenyum lembut sebelum mengecup bibir ranum istrinya.

"Maaf ya" bujuknya. "Memang harus sampai selarut itu. Bulan depan kami sudah mulai kampanye, dek. Jadi banyak hal yang harus di bahas, makanya selesainya sampai larut"

Daisy berguling ke samping untuk menggeser tubuh Hadyan dari atas tubuhnya, sebagai gantinya sekarang dia yang naik ke atas perut Hadyan mendudukinya.

"Kenapa Mas membantu mereka untuk mendapatkan suara? Bukannya Mas punya rencana untuk merusak perolehan suara partai itu?"

Hadyan terkekeh kecil mendengarnya. Sembari menyeringai nakal, dia usap pinggang istrinya naik turun.

"Itu cuma pencitraan. Mas harus terlihat bekerja keras membantu mereka agar mereka tidak curiga."

Daisy merebahkan kepalanya ke dada Hadyan begitu mendengarnya. "Tapi aku masih takut Mas. Bagaimana kalau Bapak itu tau kamu mau menusuknya dari belakang?" Tanyanya khawatir.

"Kamu tenang ya, Sayang" ucap Hadyan menenangkan sembari mengusap rambut Daisy, "semua sudah ku perhitungkan. Aku tahu siapa yang sedang ku hadapi. Aku juga tahu Prasetyo tidak akan semudah itu dibodohi. Makanya aku bekerja sebaik-baiknya sebagai anjing pesuruh laki-laki itu." Hadyan menarik nafas sebentar sebelum melanjutkan . . .

Devil Inside HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang