Bab 56

1.2K 62 10
                                    

Daisy menemui Hadyan di rumah sakit. Melihat tubuh suaminya dipenuhi luka memar, dia tidak bisa menahan tangisnya. Rasa sedih dan khawatir memenuhi hatinya saat melihat kondisi Hadyan yang terluka parah.

"Mas . . ." ucapnya menahan tangis. Air mata menggenang di pelupuk matanya.

"Sayang, kamu disini" Hadyan mencoba meraih pipi istrinya yang saat ini duduk di ranjang di sampingnya. 

"Kenapa bisa begini?" Akhirnya, air mata jatuh juga di pipinya. Daisy menangis tersedu-sedu di dada suaminya.

Hadyan mengalungkan satu tangannya yang tidak diinfus ke balik punggung istrinya, mengusap punggung itu pelan, seolah meyakinkan Daisy bahwa dirinya baik-baik saja.

"Sudah, jangan menangis. Mas, tidak apa-apa"

Daisy menulikkan telinga. Tangisnya justru semakin keras terdengar. Semua rasa khawatir dan frustrasi yang beberapa hari ini dipendamnya kini tumpah di hadapan Hadyan. Dua malam terakhir ini, dia berperang dengan perasaan cemas yang begitu menyiksa. Suaminya menghilang tanpa jejak, dan dia sama sekali tidak tahu di mana keberadaannya.

Bahkan saat tertidur kemarin malam, perasaan khawatir itu sampai menyerang ke dalam mimpinya. Dia terbangun dengan air mata yang membasahi wajahnya. Hatinya diliputi ketakutan akan kemungkinan Hadyan terluka, dan lebih dari itu, dia sangat takut jika pria yang dicintainya itu benar-benar meninggalkannya.

Ibu Daisy yang juga berada di ruangan itu merasakan getaran emosi yang kuat dari putrinya. Dia memahami betul perasaan Daisy, namun dalam hatinya juga terbersit rasa kasihan pada menantunya, Hadyan. Pria itu terlihat begitu lemah saat ini, tapi dia harus berpura-pura kuat demi menenangkan istrinya.

"Biarkan Hadyan istirahat, Nak. Kamu juga lebih baik ikut beristirahat. Wajahmu terlihat sangat pucat." Ucapan lembut Mamanya tidak Daisy gubris. Dia justru semakin erat memeluk Hadyan.

Menyadari keengganan Daisy untuk melepaskan pelukannya, wanita paruh baya itu pun dengan lembut mencoba menarik Daisy dari posisinya yang menindih tubuh Hadyan. 

"Nak, ayolah. Kasihan Hadyan, tubuhnya pasti masih sakit. Kamu gak kasihan sama suamimu?"

Perlahan, Daisy pun menegakkan tubuhnya sambil mengusap air matanya dengan kasar. Hadyan dan Mamanya menghela napas lega melihatnya.

"Aku tidak bisa melihatmu seperti ini, Mas. Kita akhiri saja semuanya. Lupakan dendam itu." Daisy kembali menangis tersedu-sedu. "Aku tidak ingin  kehilangan dirimu"

Hadyan menolehkan kepala ke arah tembok, enggan melihat pipi istrinya yang telah basah oleh air mata. 

Mama mertuanya kemudian mendekat, menepuk-nepuk punggung Daisy dengan penuh kasih sayang, mencoba menenangkan suasana yang masih dipenuhi kesedihan. Sebenarnya dia pun merasakan kekhawatiran yang sama seperti putrinya. Setelah mendengar seperti apa situasi dan kejadian yang sebenarnya dari Eros, dia tentu menjadi sangat bersalah.

Ternyata selama ini Hadyan memikul beban penyesalan yang berat. Wanita paruh baya itu sudah lama tahu bahwa Hadyan lah yang menjebak suaminya. Bisa dibilang, dia lah yang mendorong Hadyan untuk melakukannya.

Tidak ada yang tahu tentang hal ini selain dirinya dan Hadyan. Saat terjadinya peneroran pada keluarganya 11 tahun yang lalu, dia sudah sering memohon pada suaminya untuk berhenti menyelidiki kasus yang melibatkan putra bungsu Prasetyo. Dia tahu bahwa putrinya sedang diincar. Nyawa putrinya dalam bahaya. Tapi suaminya tidak pernah mengindahkan permintaannya. Laki-laki itu justru dengan angkuhnya berkata akan menyelesaikan semuanya dan menyeret putra Prasetyo ke dalam penjara.

Sebagai istri yang sangat mencintai suaminya, wanita itu tentu memiliki ikatan untuk mempercayai ucapan suaminya itu. Namun, apa jadinya ketika kepercayaannya tersebut dihancurkan? Waktu itu dia seperti orang linglung yang kehilangan semangat hidupnya ketika melihat putri satu-satunya bersimbah darah di hadapannya.

Devil Inside HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang