"Bintang, lo terang banget. Mau ya jadi rumah buat gue yang hidupnya gelap ini?" - Thana
"Gue gak seterang itu, kak. Gue bintang yang redup." - Bintang
"Bener, sumpah. Kalau saya bohong, saya relain adek saya buat ibu bu beneran."
Ucapan gue yang itu langsung mendapat pelototan tajam dari adek ganteng gue yang kini berdiri di samping gue untuk menemani kakaknya membujuk ibu kos agar bisa kasih keringanan batas bayar kos yang sebenarnya udah lewat satu minggu. Sengaja gue bawa Dimas karena si ibu kos suka luluh kalau udah liat Dimas. Gak tau karena ibu kos demen sama si Dimas apa emang muka Dimas bikin orang kasian.
"Astagfirullah, gak boleh gitu Thana, tapi boleh sih, saya ajak makan ya kalau telat bayar."
"Siap bu, boleh banget," gak peduli dengan Dimas yang kini udah narik-narik ujung kemeja gue, gue mengangguki tawaran ibu kos dengan semangat.
"Ya udah Thana, Dimas saya mau masak dulu ya, Dimas mau dimasakin gak?"
"Hah? Gak bu. Makasih."
"Jangan panggil ibu kalau bisa, kakak aja," si ibu mengedipkan sebelah matanya pada Dimas yang membuat gue nyaris kehilangan kontrol diri gue untuk gak ketawa, apalagi melihat wajah Dimas yang ... kayak takut. Hahaha... kocak banget mukanya kalo lo semua tau.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"HAHAHA...." akhirnya gue bisa melepaskan tawa gue ketika si ibu kos udah pergi dari hadapan kami berdua.
"Dim, lo kalau mau berbakti sama gue bisa banget relain diri lo nikah sama si ibu biar hidup kita makmur."
"Kurang ajar emang lo ya kak!"
"Walaupun dah perawan tua masih cakep kok Dim, berkerut aja dikit."
"Allahuakbar."
Wajah Dimas makin gak terkondisi, mungkin di kepalanya langsung kebayang kalau gue beneran jodohin dia sama si ibu kos.
"Hahaha.... lo tuh ya... anjing ganteng!"
"Itu lo tau, masa ganteng kayak gue kawin sama..."
"Bukan elo!" Gue langsung mengintrupsi jawaban Dimas, karena emang bukan dia yang barusan gue maki ganteng. Tapi cowok yang berjalan dari gerbang masuk kosan menuju arah sini.
"Terus?"
"Belakang lo."
"Lah, si Hoshi!"
"Lo kenal?"
"Temen gue itu, gak sejurusan sih pernah ikut organisasi bareng aja."
"Oh."
Cowok itu makin dekat, sampai akhirnya langkahnya sudah ada di depan kami.
"Oi, Ci, ngapain lo?" Adek gue yang katanya kenal itu langsung menyapanya.
"Lah elo Dim, gue nganterin abang gue pindahan ke sini."
