Enam Belas

153 28 4
                                    

Bintang Abbas Adytama

Dug...

Dug...

Dug...

Gue yang baru aja mau memejamkan mata karena malam gak bisa tidur langsung dialihkan atensinya pada suara yang seperti berasal dari benturan sesuatu dan itu terdengar dari tembok sebelah. Iya. Kamarnya Thana.

Gue tempelkan telinga gue ke arah tembok, jujur, kepo Thana lagi ngapain sampai muncul bunyi seperti itu. Dia gak lagi benturin kepalanya kan? Harusnya enggak, ini bahkan masih siang. Lagian kan ada adiknya. Tapi kecurigaan gue justru di dukung oleh suara isakan yang samar-samar gue dengar dari kamar Thana itu.

Tuk...tuk...tuk

Gue mengetuk tembok itu dengan jari gue,
"Than..."
"Lo dengar gue gak?"

Tapi gak ada jawaban.

Karena itulah gue akhirnya memutuskan untuk keluar, menuju ke kamar Thana. Sampai ketika gue berdiri di kamarnya, ternyata kamarnya ditutup, kayaknya Dimas udah pulang. Gue pun mengetuk pintunya tapi masih gak ada jawaban. Gue telepon nomor barunya yang ada di HP baru dari gue, dan untungnya... diangkat.

"Halo Bintang?" Suaranya terdengar melengking, terdengar kalau dia lagi baik-baik aja. Tapi apa iya? Selama ini kan Thana selalu pakai topeng.

"Than, gue depan kamar lo. Boleh bukain pintunya?"

"Mau apa?" Tanyanya.

"Mau lihat lo, Thana. Jadi, boleh bukain pintunya... sekarang?"

***

Thana Asha Kalyna

Gue memandang cowok yang tiba-tiba udah datang lagi aja di kamar gue. Dia gak melakukan apapun. Cuma memandang gue dan gue memandangnya. Beneran gak jelas dia mau ngapain ke sini. Ganggu orang lagi nangis aja. Eh...

"Bintang."

"Thana."

Sekalinya kita bersuara setelah beberapa saat saling diam, kita malah manggil barengan.

"Lo ngapain ke sini sih?"

"Lo jedotin kepala lo ke tembok ya? Lo nangis kan?"

Gue langsung membuang muka dari Bintang. Waduh, jadi dia ke sini karena mendengar semuanya. Thana, harusnya lo gak bodoh buat lupa kalau kamar sebelah lo udah gak kosong, dan kosan lo temboknya itu setipis martabak tipis kering jadi kalau telinga kita di tempelin tembok, bisa aja terdengar suara-suara penghuni samping, kayak yang gue lakuin waktu nguping pembicaraan Bintang sama ayahnya. Tapi masa iya, Bintang nempelin telinganya juga ke tembok.

"Apa deh? Nggak tuh."

"Tuh ingus lo masih ketinggalan," otomatis gue langsung mengusap hidung gue yang ternyata gak ada apa-apa kok. Sialan gue dibohongin.

"Tuh kan berarti lo emang merasa abis nangis."

"Ye gak gitu bambang!"

"Bintang! Bukan bambang!"

"Kalo sayang gak boleh?"

"Thana, jawab! Bener gak?"

Gue memicingkan mata ke arahnya, gak bisa banget diajak bercanda dah nih orang.

"Ih! Ya emang kenapa sih? Masa nangis gak boleh!"

"Boleh, tapi kenapa? Terus harus pake jedotin kepala banget?"

"Lagian, cutternya lo umpetin!" Soal ini, iya. Diam-diam Bintang tuh ngambil cutter gue waktu tadi ke sini.Nyipet gunting gue juga. Sampai pisau buat potong bawang juga sama dia dicipet. Waktu dia ambil itu semua, gue lihat. Tapi gak gue protes, gue cuma gak mau ingetin ke hal itu lagi aja tadinya.

Home (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang