Tiga Puluh Tiga

156 25 20
                                    

Bintang Abbas Adytama

"Bintang, kamu mau aku cubit ulu hatinya apa ginjalnya?" Sungut Thana pada gue, gue kaget lah kena omel Thana.

Dia memicingkan mata sambil terus merangkul Dimas yang belum mau berhenti nangis, tu anak emang udah nangis dari di jalan juga, dan makin kejer waktu meluk kakaknya,
"Tanggung jawab nih bocah gede gak berhenti-berhenti nangisnya!"

Gue gak tau Thana memang beneran kesal sama gue atau dia cuma sedang menutupi segala kesedihannya di depan Dimas.

"Udah bro, teteh lo, mbak lo, kakak lo ini gapapa, gak usah kejer begitu kayak gue udah mati aja."

"Kak!"
"Thana!"

Gue dan Dimas sama-sama mewanti Thana atas ucapannya yang selalu aja sompral, bener-bener harus dikasih pelajaran tuh bibirnya biar gak asal ngomong lagi, liat aja nanti ya Than.

"Hehe, sori. Makanya berhenti dong nangisnya, gue gak mau ikutan nangis lagi Dimas, capek banget sumpah."

Dimas mulai menguraikan pelukan mereka sebelum pemuda itu menatap kakaknya dalam-dalam tapi habis itu kembali menunduk.

"Lo... jahat banget buat sembunyiin ini semua dan bikin gue terlihat jahat kak."

"Maaf Dimas."

Dimas menggelengkan kepalanya, "Enggak. Gue salah, bukan lo yang jahat, gue aja yang bodoh buat gak tau apa-apa tentang kakaknya sendiri, gue adik yang gak mengenal baik kakaknya sendiri dan malah nyimpulin sesuatu yang buruk tentang lo, maafin gue."

Thana mulai menitikan air matanya sementara tangannya dia sendiri justru digunakan untuk menghapus air mata Dimas, bagian itu gue gak mau lihat, gue mulai lemah kalau lihat Thana nangis. Pada akhirnya gue memilih untuk keluar, memberi waktu pada Dimas dan Thana karena kalau gak, gue bisa ikutan nangis di sini.

***

Thana Asha Kalyna

"Lo... jahat banget buat sembunyiin ini semua dan bikin gue terlihat jahat kak," racau Dimas yang gak berani menatap gue dan lebih memilih untuk menunduk.

"Maaf Dimas," balas gue.

Dimas menggelengkan kepalanya, "Enggak. Gue salah, bukan lo yang jahat, gue aja yang bodoh buat gak tau apa-apa tentang kakaknya sendiri, gue adik yang gak mengenal baik kakaknya sendiri dan malah nyimpulin sesuatu yang buruk tentang lo, maafin gue," ucapnya seolah mengoreksi ucapannya tadi.

"Justru kalau gue bisa, gue mau simpen semua masa lalu kelam itu selamanya dari lo Dimas. Iya, lo bener kok gue jahat buat sembunyiin itu. Karena gue tau kalau lo juga akan hancur buat tau semua ini."
"Maafin gue Dimas....  maaf karena gue hidup gak baik-baik aja selama ini di belakang lo."
"Selama ini gue udah berusaha buat hidup lebih baik dengan lupain semuanya, i tried my best, Dimas, gue berusaha buat hidup selayaknya orang normal, gue udah berusaha buat hidup diluar bayang-bayang masa lalu itu, tapi maaf Dimas ternyata sampai sekarang gue  masih hancur."

Air mata Dimas turun lagi. Wah.... ternyata lihat Dimas nangis itu rasanya sesakit ini ya, tapi gak tau kenapa ada perasaan lega juga. Karena meskipun gue sangat ingin menyimpan semuanya dari Dimas, gue tetap merasakan sesak dan beban luar biasa untuk menyimpan semuanya, menyimpan rasa bersalah, penyesalan, kesakitan dari semua masa lalu gue dan ketika semuanya lepas, gue merasakan kelegaan itu.

"It's okay kak, gapapa kalau lo masih hancur, gapapa kalau gue ikut hancur juga, yang penting lo gak sendirian ya? Jangan kak, tolong jangan sendirian lagi. "

Tangis gue pecah ketika gue mendengar itu dari Dimas, kata-kata yang mirip yang pernah Bintang ucapkan pada gue, karena itu gue pun kembali berhambur ke pelukan Dimas. Kami berdua pecah dalam tangis kami masing-masing.

Home (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang