Dua Puluh Tujuh

128 23 8
                                    

Thana Asha Kalyna

Gue terpatung ketika gue sudah berdiri di depan pintu satu rumah yang alamatnya gue dapat dari Dimas. Ini rumahnya tante. Memang bukan rumahnya yang dulu ketika gue masih tinggal bersamanya dan semua mimpi buruk gue terjadi di sana, tapi gue tetap merasa sangat takut karena sumber dari mimpi buruk itu, si pelaku masih ada di sini.

Mencoba untuk mengatur napas, gue mengendalikan diri untuk lebih tenang. Gak akan terjadi apapun Than, karena ada tante lo. Si brengsek itu gak akan berani lakuin apa-apa kalau ada tante kan? Lo cuma perlu masuk, bertamu, ngobrol-ngobrol sebentar sama tante, dan udah... lo bisa balik. Lo bisa Than.

Setelah menyakinkan diri akhirnya tangan gue memberanikan diri untuk mengetuk pintu masuk itu.

Tok...tok...tok

Cukup dengan 3 kali ketukan, pintu itu pun terbuka. Gue sudah khawatir kalau yang membukakan adalah om tapi gue bisa sedikit bernapas lega karena tante-lah yang muncul dari balik pintu. Gue cuma bisa berdoa kalau om gak ada sekalian di rumah sehingga gue bisa tenang berbincang dengan tante. Karena kalau tante bukan adik ibu, yang selalu jadi andalan ibu, yang dipercaya oleh ibu dulu, gue gak akan memaksakan diri ke sini.

"Ya ampun Thana, akhirnya kamu ke sini juga!" Gue mendapat sambutan hangat dari tante yang langsung memeluk gue. Gue balas pelukannya sambil tersenyum haru. Dengan tante, gue gak ada masalah sama sekali, ingin rasanya gue kasih tau tengang kebejatan suaminya, tapi gue terlalu malu, gue terlalu takut. Itu juga alasan kenapa gue gak memberitahu Dimas.

"Maaf ya tante, aku datangnya sendiri, Dimas sibuk banget tuh."

"Dia udah pernah mampir kok sebentar, kapan hari ya dia makan siang di sini, katanya sambil lewat." Wah, Dimas gak pernah bilang soal ini. Mungkin biar gue tetap mau ke sini, biar gue gak beralasan kalau udah diwakilin sama dia.

"Waduh, dateng cuma numpang makan aja ya tan?"

"Haha, gapapa banget dong, tante malah seneng."

"Iya, makasih ya tan."

"Ya udah yuk masuk!"

Gue pun diajak masuk ke dalam. Belum gue temukan om di ruang tengah, meskipun masih was-was, seenggaknya gue bisa mengurangi rasa khawatir gue perlahan.

"Udah makan belum Than?" Tanya tante sambil menyugukan gue minuman.

"Udah tante, aku abis pulang kerja banget. Abis ini juga mau lanjut kerja lagi di Kafe."

"Wah, pekerja keras banget ya kamu Than?"

"Alhamdulillah hehe..."

"Kamu gak mau di sini aja sama Dimas, di sini ada kamar kosong tuh 2 lagi, tante dan om juga sanggup kalau harus menghidup kalian, gimanapun orangtua kalian nitipin ke tante dan om, jadi selama ini tante suka kepikiran kalian yang pergi tiba-tiba Thana."

Gue selalu merasa bersalah pada tante yang gak tau apa-apa, beliau cuma tau gue cabut dari rumahnya gitu aja, entah apa yang ada dipikirannya tentang gue saat itu, mungkin beliau mengira gue gak betah, mungkin juga gue dikira gak suka merepotkan oranglain seperti yang selalu Dimas kira terhadap gue. Tapi tetap aja, cara gue gak sopan karena kabur gitu aja tanpa pamit.

"Tante, aku minta maaf banget karena pernah pergi tanpa pamit, usiaku waktu itu masih labil, belum dewasa, egois aku masih tinggi, jadi maaf banget ya Tan? Dan untuk sekarang, aku udah dewasa, aku udah bisa bertanggungjawab atas hidup aku sendiri dan bahkan Dimas juga. Jadi aku sangat berterimakasih atas tawarannya, tapi aku sangat nyaman dengan hidup aku yang sekarang Tan."

Home (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang