Tiga Belas

110 28 4
                                    

Thana Asha Kalyna

Gue memandang tumpukan salad buah yang sudah siap diberikan pada pelanggan gue yang sebelumnya sudah lebih dulu pre-order. Ya begitulah sistemnya, open order dulu, baru gue akan membuat sesuai permintaan. Pagi sekali, gue pergi ke pasar untuk memberi semua bahan dan peralatan kemudian langsung gue buat setelah mendapatkannya sampai akhirnya semuanya beres bahkan sebelum di jam 12 siang tadi. Karena besok baru dibagiin pas gue kerja, jadi biasanya bakal gue titipin ke kulkas ibu kos.

Sekarang gue ngantuk banget, karena gue belum tidur sama sekali. Tidur sih, hanya saja selalu terbangun karena setiap gue tidur, mimpi buruk itu datang.

Semenjak semalam kepala gue juga terisi oleh pertemuan gak terduga gue dengan om dan tante gue. Gue dan Dimas pernah tinggal bersama mereka, ketika ibu kita meninggal karena sakit menyusul ayah yang sudah lebih dulu berpulang setahun sebelumya dengan penyebab yang sama. Tapi, ketika usia 16 tahun, gue memutuskan untuk membawa Dimas keluar dari rumah itu dan memilih tinggal hanya berdua dengan Dimas. Karena... gue merasa rumah mereka gak bisa jadi tempat yang nyaman bagi gue. Berbeda dengan Dimas yang kadang masih selalu menyalahkan gue karena memilih untuk kabur dan keluar dari rumah itu. Dimas selalu berpikir bahwa kita berdua gak akan kesulitan dan gue gak perlu bekerja keras seperti sekarang, karena menurut Dimas, om dan tante pasti akan mengurus kita berdua dengan baik. Tapi... gak menurut gue.

Setelah pertemuan itu, Dimas dihubungi oleh tante, karena sebelumnya, melalui Bintang gue memberikan nomor Dimas pada mereka karena gue sendiri gak lagi pegang handphone. Lalu, tadi saat gue memberikan salad buah pada Bintang, gue mendapat telfon dari Dimas melalui Bintang.

"Halo Dimas?" Gue selalu excited ketika menelpon Dimas, adik gue.

Tapi kali ini, excited itu gak berlangsung lama setelah mendengar apa yang diucapkan Dimas, "Lo ketemu tante ya kemarin? Tante udah hubungi gue. Kak, finally kita ketemu lagi sama mereka. Nanti kita berkunjung ke rumah mereka ya? Lo mau kan?" Dimas itu agak mirip Bintang yang lebih banyak datarnya ketimbang ekspresif, tapi sekarang dari suaranya Dimas sangat bersemangat.

"Sama lo kan? Gue gak datang sendirian ke sana kan?"

"Enggak lah, nanti kita pergi sama-sama."

"Iya udah."

"Oke, kak. Nanti gue kabarin kapan-kapannya."

"Dimas, lo mau salad buah gak? Gue bikin nih," gue mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Mau!!! Nanti gue ambil ke kos lo."

"Jangan lupa tawarin temen-temen lo kayak biasa ya. Gue BU (butuh uang) buat beli handphone baru hehe..."

"Emang bakal kebeli cuma dari jualan salad buah?"

"Jangan remehin gitu dong, lo kayak gak tau aja kerja keras gue gimana. Liat aja nanti juga kebeli tuh handphone baru."

"Iya, gue percaya lo. Jangan lupa makan, kak. Udah dulu ya?"

"Ya udah, lo jangan lupa makan juga ya."

Gue menghela napas berat, tinggal tunggu aja kapan gue bersua kembali dengan mereka, dan tinggal nikmatin aja gue yang mungkin akan susah tidur setelah ini karena akan sering bermimpi buruk.

Kemudian, ketika gue menunduk gue menatap sebuah ponsel yang gue dapat dari Bintang tadi. Melupakan hal yang gak mengenakan hati gue, gue tersenyum mengingat Bintang yang baik banget ke gue.

Gue menyalakan ponsel yang mati itu. Gue mendapati ponsel ini sudah di-restart dan di kosongkan. Tapi ketika gue lihat galeri, ada sebuah folder yang berisi vidio Bintang menyanyikan berbagai lagu. Gue tersenyum lagi.

Home (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang