Sepuluh

172 29 3
                                    

Thana Asha Kalyna

"Thanks, kak."

Gue yang sedang nuangin  mi instan ke mangkok langsung teralihkan pandangannya ketika Bintang yang dari tadi diam baru aja bersuara. Jangan tanya bokapnya Bintang dimana, karena beliau udah pergi sejak gue diizinkan masuk ke dalam kamar kos Bintang. Tapi sebelum itu, bisa gue dapati tatapan tajam beliau ke anaknya, Bintang. Jadi gue cuma bisa berharap kalau nanti mereka ketemu lagi, Bintang gak diapa-apain.

"Buat masakin elo mi? Ih jangan geer Bintang, ini buat gue kok, soalnya gue suka rasa kari, lo yang ayam bawang aja ya?" balas gue yang langsung mendapat kekehan cowok di hadapan gue.

"Buat datang ke sini, maksudnya."

"Kan emang gue mau numpang masak aja, justru gue nih yang sori karena bokap lo malah jadi kabur pas gue datang," Bintang tersenyum miring ketika mendengar jawaban gue, mungkin karena wajah pura-pura gue terlalu kentara.

"Lo serius dapat sembako dari kantor?"

"Hah?"

"Kalau iya boleh gue minta indominya?"

"Hah?!"

Aduh. Gue gak tau maksud nih orang ngetes kejujuran gue perihal gue yang bilang dapat sembako yang padahak gak sama sekali atau emang dia percaya terus beneran butuh dan minta ke gue. Si anjir Thana, harusnya lo gak perlu bohong.

"Eung...."

Gue yang gak tau jawab apa, sekarang malah diketawain remeh sama si Bintang, "Gak jago bohong  elo tuh!"

"Dih? Kok jadi sok tau?"

"Emang gue tau!" Cetusnya.
"Gue tau kalau lo denger percakapan gue sama bokap kan makanya lo ke sini."

"Bintang...."

"Sekali lagi makasih, Kak," ucapnya lagi tanpa ada nada ramah sedikitpun

"Tapi Bintang, lo.... gapapa?"

Bintang hanya tersenyum tipis tapi gue tetap merasakan tatapan gak suka Bintang ke gue, "Belum sempat kok, karena lo keburu ke sini, jadi gue gapapa."
"Apapun yang lo dengar dari gue dan bokap gue, abis ini lupain aja ya?"

***

Bintang Abbas Adytama

"Bang, gue gak tau kalau bokap udah tau kosan lo di sini, kayaknya dia pernah ngikutin gue, sori bang, sumpah gue gak kasih tau sedikit pun tentang kosan lo," gue yang tadi mau berangkat ke kampus dikejutkan oleh Hoshi yang tiba-tiba ada di depan kosan gue. Gak ada cengiran tengil kayak biasanya, yang ada justru wajah gelisah dan khawatir. Jadi sekarang kita lagi ngobrol di kursi panjang yang ada di halaman kosan gue.

"Bisa jadi juga kalau bokap ngikutin gue," gue menjawab ucapan Hoshi.

"Iya sih, terus rencana lo apa? Bokap udah tau lo di sini, gimana kalau dia ke sini terus?" Gurat khawatir itu semakin jelas tampak di wajah Hoshi dengan dahinya yang berkerut juga tatapan yang ia berikan pada gue.

"Lo tenang aja, bokap kayaknya gak bakal berani macem-macem di sini, gimanapun ini tempat orang."

"Lo harusnya tau bokap itu bisa lupa diri kalau dia udah emosi banget."

Itu benar. Kalau udah emosi, bokap emang gak bisa menahan dirinya lagi dan tidak memedulikan apapun yang penting emosinya bisa tersalurkan, tapi entah kenapa gue tetap merasa tempat ini jauh lebih aman ketimbang rumah. Gue ingat ucapan Thana sebelum dia kembali ke kamar kosannya tadi, "Bintang, kalau bokap lo ke sini, jangan di bawa masuk ke kamar lo, ngobrol di luar aja, yang seenggaknya ada orang di sana. Bokap lo masih punya malu kan buat mukulin anaknya di depan orang lain?"

Home (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang