Dua Puluh Lima

150 31 7
                                    

Bintang Abbas Adytama

Gue merengkuh erat cewek yang satu minggu ini gak gue lihat dan memang sengaja gue hindari. Bisa gue dengar isakannya, gue merasa juga bahwa baju bagian bahu gue mulai basah, menandakan bahwa cewek ini memang menangis dalam pelukan kami.

Gue membiarkannya menangis sampai dia puas, sama sekali gak gue intrupsi, toh gue masih betah dengan posisi yang seperti ini, karena sebenarnya gue menyimpan sebuah rindu yang rasanya jadi terlepas semua ketika gue melihat kehadirannya di sini.

Awalnya gue kira ini cuma halusinasi, demam yang udah gue rasakan selama beberapa hari terakhir ini pasca dipukulin bokap 'lagi', membuat gue kadang gak bisa membedakan mana mimpi dan mana kenyataan. Jadi gue kira tadi gue masih terbawa mimpi ketika mendengar suara dari sosok yang akhir-akhir ini selalu mengisi mimpi gue. Thana.

Entah sudah berapa lama Thana menangis, akhirnya cewek itu melepas pelukan kami duluan. Kami saling diam untuk beberapa detik, saling menatap satu sama lain, sebelum Thana tiba-tiba menyerang gue dengar pukulan di badan gue yang sebenarnya masih sakit... jadi gue reflek meringis kesakitan meski pukulan itu gak kencang.

"Aduhh... Shhh..."

Mendengar ringisan kesakitan gue, dia pun menghentikan pukulannya, "Badan lo pasti pada sakit ya?"

"Iya."

"Ya udah maaf, lo sih, kenapa gak ada kabar?"

Ketimbang menjawab pertanyaannya gue lebih tertarik untuk mengusap wajahnya yang basah, dan gue mendapati sudut bibirnya terluka.

"Lo kenapa bisa sampai sini Than?"

"Kenapa balik tanya?"

"Itu bibir lo juga kenapa?"  Tangan gue turun untuk mengusap lukanya yang membuat dia mengaduh.

"Jawab pertanyaan gue Bintang, bukannya balik tanya!"

"Jawab dulu pertanyaan gue, bibir lo itu kenapa?"

"Gak penting!"

"Penting, karena ith menghambat niat gue!"

"Niat apa?"

"Cium lo!"

Thana langsung terkejut, matanya membola lucu banget hingga gak sadar gue pun menarik sudut bibir gue yang rasanya agak kaku karena seminggu ini bibir gue gak ada yang membuat gue tersenyum seperti Thana yang dengan mudahnya membuat gue demikian.

"Bercanda," tambah gue yang langsung mendapat tatapan sinis darinya.
"Sekarang lo jawab, kenapa bisa sampe sini? Pasti Cakra sih yang bawa lo ke sini, tapi... gimana bisa?"

"Bisa! Makanya jangan sok-sok ilang lagi, gue pasti bakal nemuin!"

Gue terkekeh, "Makasih ya udah nemuin gue."

"Ya, sama-sama!" Balas dengan dengan nada kesal tapi menggemaskan.
"Sekarang lo yang cerita, sebenernya ada apa sama lo? Kenapa lo sama Hoshi bisa hilang kabar kompakan gitu? Lo tau Bintang? Gue khawatir!"

"Gue pikir lo bakal benci gue Than setelah cowok lo ilang kabar gitu aja bahkan disaat kita belum lama jadian!"

Thana tampak menghela napas, "Karena gue tau pasti terjadi sesuatu!"

"Adik gue Than...."

Gue menjedanya untuk menarik napas berat ketika gue hendak menceritakan semuanya, tapi Thana sudah bertanya duluan, "Kenapa sama Hoshi?"

"Adik gue sakit parah selama ini, dia punya sakit bocor jantung."

Thana tampak syok, menceritkannya kembali juga membuat dada gue bergemuruh hebat, melihat Hoshi terbaring gak berdaya di saat biasanya anak itu lah yang aktif banget, rasanya gue ingin mengenyahkan diri gue sendiri karena bisa sampai gak tau apa-apa dan selama ini gue mendukung Hoshi untuk terus bergelut di dunia dance yang ternyata hanya memperparah sakitnya, itu kenapa bokap mengekang Hoshi gak boleh ngedance lagi, dan akhirnya gue tau kenapa bokap berambisi menjadikan gue dokter, karena bokap yang gue rasa mentalnya sudah berantakan setelah kepergian Mama dengan penyakit yang sama seperti Hoshi, menginginkan gue untuk bisa menyembuhkan Hoshi dengan tangan gue sendiri. Sekarang gue tau, bahwa Papa sebenarnya punya trauma besar akan kehilangan. Sekarang gue paham sikap abusive Papa adalah sebuah pelampiasannya akan trauma itu. Papa takut kehilangan Hoshi, dan beliau melimpahkannya pada gue. Karena... ya siapa lagi?

Home (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang