Dua Puluh Sembilan

132 28 12
                                    

Bintang Abbas Adytama

Pada akhirnya gue pulang ke rumah, bertemu dengan bokap setelah sengaja dijebak oleh Hoshi. Anak ini bilang minta jemput, gue kirain dia emang gak ada yang jemput, tapi ternyata di sana ada bokap juga.

Kita bertiga, gue, bokap dan Hoshi akhirnya bertemu, berkumpul di satu ruangan untuk membicarakan masalah kita dengan kepala dingin.

"Bang, sekarang lo sampein semua uneg-uneg lo ke Papa, begitu juga sebaliknya, dan please gak boleh pake emosi, kalaupun kebawa emosi, lari aja ke kamar aku, ada samsak tinju di sana."

Gue kira Hoshi bercanda, tapi ternyata beneran, kamarnya diatas itu sedang terbuka dan bisa gue lihat meski gak terlalu jelas kalau emang ada samsak tinju di sana. Kayaknya baru, karena sebelum itu gue gak pernah lihat.

"Pa..." gue membuka suara gue.
"Aku merasa sangat dirugikan di keluarga ini. Kenapa kita gak gini aja dari dulu? Kenapa aku harus banyak babak belur dulu karena tangan Papa? Selama ini aku jadi pelampiasan kalian berdua. Hoshi yang memanfaatkan kepolosan aku, kegaktauan aku biar aku tetap support dia dalam ngedance dan berakhir bikin aku dipukulin Papa, Papa juga, Papa melampiaskan semua rasa trauma Papa akan kehilangan Mama, ketakutan Papa kehilangan Hoshi, ke aku. Aku tau, aku anak pertama. Tapi Pa.... emang ini adil buat aku? Jujur Pa, aku merasa kayak anak tiri. Papa takut Hoshi mati, saking takutnya Papa lampiasin itu dengan mukulin aku. Tapi dengan Papa mukulin aku, berarti Papa gak peduli ya aku sakit atau nggak? Papa selama ini lihat gak sih aku kesakitan? Papa sadar gak dengan aku milih buat ngekos dari pada di rumah artinya aku gak bisa ngerasa nyaman lagi di rumah ini, rumah ini gak layak lagi buat jadi aku tempat untuk pulang, Pa. Aku kira dari sana Papa bisa ngerti, dan bisa lembutin hati Papa sedikit aja, tapi ternyata enggak ya? Dan Papa tau gak, kalau aku sering banget kepikiran, kalau di sini gak ada yang mihak aku, apa aku nyusul Mama aja ya? Papa sadar gak kalau aku dipukulin Papa, aku gak pernah melawan, Papa tau kenapa? Karena aku berharap mati aja sekalian. Biar aku ketemu Mama, dan biar hidup Papa penuh rasa bersalah karena udah bunuh anaknya sendiri."

Gue ngomong panjang lebar, mengeluarkan semua yang mengganjak di hati gue, kalaupun nanti ada benda yang dilempar Papa tepat di wajah gue untuk menghentikan bicara gue, gue gak peduli.

"Bintang....." Papa bersuara dengan suara lirihnya.

"Maafin Papa."
"Kamu betul kalau ini semua adalah akibat dari traumanya Papa kehilangan Mama. Sejak kehilangan Mama, mental Papa berantakan. Papa gak bisa lagi mengendalikan  diri dengan baik. Saat Papa pukulin kamu, Papa sering kali gak sadar diri Bintang, dan Papa selalu menyesalinya di kemudian hari. Tapi karena itu tadi, Papa gak bisa mengendalikan emosi Papa, diri Papa, amarah Papa, akhirnya apa yang Papa lakukan ke kamu selalu terulang lagi. Niat Papa cuma ingin kasih kamu pelajaran, biar kamu bisa ikutin semua perintah Papa. Tapi Papa tau cara Papa salah, maafin Papa Bintang."

"Go to the therapy Pa. Papa sakit, dan Papa perlu diobatin."
"Aku akan ikutin semua kata Papa. Aku udah berhenti jadi guru vokal, aku jual semua alat musik aku, dan sesuai janji aku waktu itu kalau aku akan sunggung-sungguh untuk jadi dokter. Tapi please Pa, go to the therapy. Punya mental kayak gitu gak bisa dibiarin, aku mau Papa sehat, both physically and mentally."

"Aku setuju sama bang Bintang," Hoshi yang dari tadi diam kini bersuara.
"Mama pasti sedih Pa, liat Papa terus berlarut bahkan sampai membentuk trauma akan kehilangannya."

Papa mengangguk, mata beliau udah basah. Papa menangis, dan gue mencoba mengalihkan perhatian gue biar gak lihat Papa nangis karena kalau gak, gue bisa lebih kencang nangisnya dari Papa.

"Tapi Bintang kamu pulang kan ke rumah? Kamu gak ngekos lagi kan?"

"Yang itu aku pikirin dulu."

Home (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang