Kantor Pengacara Lily Silalahi SH & Partner
"Kapan kamu terakhir kontak dengan Jason?" suara Papi Alex tenang tetapi ada nada mengancam di dalamnya. Sosok Papi kini seperti singa tua yang terluka. Singa yang tidak langsung menerkam tetapi mengintimidasi lawannya dahulu.
Di hadapan kami duduk perempuan dengan rambut disasak ke atas dan parfum yang dituang setengah botol. Lily Silalahi. Perempuan paruh baya yang sudah sering mengurusi aneka pernak-pernik keluarga Handojo. Perempuan yang tiba-tiba menjadi sasaran kemarahan Papi.
"Kenapa Jason minta cerai, Li? Dia kasih tahu kamu enggak alasannya?" tanya Mami cemas. Tisu di tangan Mami sudah berubah menjadi serpihan putih yang mengikutinya kemana pun Mami pergi.
"Bapak Ibu Handojo, tenang dulu." suara Lily serak-serak basah menenangkan. Dengan kalimat yang runut, Lily menceritakan bagaimana tiga minggu yang lalu Jason menghubunginya via telepon meminta Lily mengurus perceraiannya. Awalnya Lily menolak, meminta Jason melakukan mediasi. Namun Jason tidak mau. Dengan setengah mengancam, Jason mengatakan jika Lily menolak ia akan bisa mencari pengacara lain.
"Jason hanya mengatakan ini masalah keluarga, yang ia ingin ditangani oleh orang yang ia anggap keluarga."
Aku duga yang menyebabkan Lily setuju bukan karena dianggap keluarga oleh Jason tapi karena Jason berani bayar mahal.
Kepalaku tertunduk. Tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Apa salahku? Apa Jason marah karena aku ... aku ... merayunya? Karena aku mengenakan lingerie bodoh? Tapi ... Tidak-tidak, itu baru terjadi dua minggu lalu. Aku memberanikan diri mengangkat tangan dan berdeham.
"Apa ... Jason, bilang ini gara-gara saya? Saya .. salah apa?" tanpa terkontrol suaraku bergetar. Lily menatapku dengan iba. Ia menyodorkan kotak tisu dari mejanya. Mungkin ini barang wajib di meja pengacara. Kotak tisu. Aku menatap kotak tisu keemasan. Entah sudah berapa banyak orang menangis di meja ini.
Mungkin ada sebagian kecil dari fee Jason yang digunakan untuk membeli tisu yang akan menghapus air mata perempuan lain yang duduk di tempatku.
Tante Lily tidak berkata apa-apa. Aku menunduk pura-pura melihat lantai padaha aku mengerjap-ngerjap supaya tidak keliatan menangis. Apakah Papi Mami akan marah kepadaku? Menunduhku tak becus menjadi istri?
***
Perjalanan pulang tak ada yang bicara. Muka Papi merah padam. Mami melihat keluar jendela dan diam-diam menangis. Sedangkan aku, hanya berani duduk di pinggir jok mobil. Rasanya aku tak pantas ada di mobil mewah ini.
Tiba di rumah Jason, aku permisi kembali ke kamar. Berbaring menatap langit-langit. Apa ini? Apa yang harus kulakukan? Kembali ke rumah Papa Mama? Lalu bilang apa? Aku diceraikan. Suamiku hilang. Aku harus apa? Menangis? Beberes barang? Perutku mual.
Aku ingat tatapan iri teman-temanku ketika mendengar aku akan menikah. "Enak yah, Sil."
Tak sampai dua bulan, justru kondisiku terombang-ambing. Teman-temanku mungkin sibuk mulai bekerja, sedangkan aku justru terancam diusir dari rumah mertua.
Suara ketukan lembut terdengar di ambang pintu.
"Silka ..." Lalu diam. Beberapa detik ada suara ketukan lagi. "Silka, ini Mami."
Hatiku seperti dihempas ke lantai. Mataku buru-buru berkelana mencari koperku. Mungkin sebaiknya aku segera mengemas barang-barangku.
"Silka ..."
"Iya ... Ma-" Aku tak sanggup menyelesaikan penggalan kata itu. Mami. Apa aku boleh memanggilnya Mami sekarang ketika anak semata wayangnya akan menceraikanku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphiemi ( EDITED)
RomanceHi, aku Silka Loekito, employee no 27 from start up company Mother& Me. Aku direkrut langsung oleh Mbak Mel, employee no 2. Aku juga single mom dengan satu anak, Max Putra Loekito. Hidupku sebagai budak eh karyawan korporat biasa-biasa saja. Hingg...
