Glenn Hospital
"Jadi kata dokter, Max asma tapi kondisinya okay?" tanyaku lagi memastikan aku tidak salah tangkap. Prof Chew bicara cepat sekali. Usianya memang sudah berumur, kepala botak mengkilat, herannya dia masih mengingat Jason. Dua hari lalu ada serangkaian test yang Max ikutin. Ada yang hasilnya langsung ada masih harus menunggu.
Hari ini hasil test alergi keluar, Max alergi tungau, debu, itu yang umum. Lalu ada beberapa yang lebih spesifik seperti tartrazine, zat pengawet yang banyak ditemukan dalam soda, mie instant, saus-saus instant, gelatin, sosis maupun makanan-makanan process food dan cepat saji. Tak heran selama ini Max membaik karena Jason mengawasi makanannya dengan ketat.
"Ya, asmanya terkontrol. Yang kita lakukan sudah benar."
Kita!
Aku berusaha mengacuhkan nada puas dalam suara Jason. Yah bagaimana ya, aku juga senang sih melihat kondisi Max membaik. Berat badannya mulai berangsur naik karena energinya bisa digunakan untuk bertumbuh dan bukannya berulang kali memerangi asma dan alerginya.
Dari segi keuangan pun membaik, karena aku tak perlu bolak-balik ke dokter dan mencecoki Max dengan obat-obatan mahal. Yang paling mahal, Max sudah jarang tidak masuk sekolah.
"Lega?" Jason balik bertanya. Tangan kirinya merangkul bahu Max. Aku melengos melihat ke depan. Dari tadi aku memergoki beberapa wanita yang berpapasan dengan Jason lalu melirik ke arahnya. Heran apa yang dilihat para wanita itu? Jason mengenakan kaos polos hitam dan celana pendek berwarna khaki lalu sepatu olahraga putih. Yah memang dari lengan kaos keliatan lengan Jason berotot. Tapi ... please deh .. masak hanya karena itu langsung mata pada jelalatan?
Karakter dan akhlak lebih penting, Sis!
Ingin rasanya kuceramahi perempuan-perempuan itu. Otot biceps tapi kelakukan bejad buat apa?
"Tunggu di sini dulu." Jason memberi tanda sementara dia menerima telepon. Aku duduk memberi isyarat kepada Max untuk duduk di sisiku. Kami duduk di bangku dekat kolam ikan melihat ikan warna-warni.
"Yuk," panggil Jason sambil tersenyum lebar. Di tangannya kini ada keranjang piknik kayu. "Max, let's go!"
Aku mengekor Jason dan Max yang berjalan keluar dari rumah sakit lalu berbelok ke kiri. Setelah lampu merah, ada sebuah gerbang putih besar bertuliskan Botanic Garden. Dari dalam tas ranselnya, Jason mengeluarkan bola sepak yang dibungkus kantong plastik.
Max menyepak-nyepak sambil tertawa, aku malah berjalan dengan curiga. Ini ngapain kita ke taman? Sepi-sepi begini? Buset ... Setelah berjalan melewati beberapa jalan setapak, aku sudah pasrah, ingatanku yang payah membuatku jika ingin lari pun tak bisa. Sedari tadi Jason mencoba mengajakku bicara yang hanya kujawab sepotong-potong.
Dia sibuk memaparkan kini dia tahu apa yang membuat asma Max kapan hari kumat setelah makan eclair buatannya.
"Itu karena ada tartarizine di dalam gelatinnya, Ika."
"Hmmm."
"Padahal yang kubeli merk import."
"Hmmm." Dalam hati mah kubilang, emank jaminan impor lebih bagus ha?
"Lain kali pasti kucheck dulu."
"Hmmm."
"Kamu laper ga?"
"Hmmm."
"Mau makan?"
"Hmmm." Semua pertanyaan, pernyataan Jason kujawab dengan Hmm. Aku terus berjalan sementara Jason ngoceh tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphiemi ( EDITED)
RomanceHi, aku Silka Loekito, employee no 27 from start up company Mother& Me. Aku direkrut langsung oleh Mbak Mel, employee no 2. Aku juga single mom dengan satu anak, Max Putra Loekito. Hidupku sebagai budak eh karyawan korporat biasa-biasa saja. Hingg...
