Part 16 : Cowok Banci!

54.2K 6.2K 709
                                        

"Kamu ajak Max ketemu Papi Mami?" ulang Jason karena diriku masih meracau soal pasukan tuyul karena tak tahu harus jawab apa.

"Kalau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, saya permisi."

Aku membereskan alat tulisku yang berserakan di meja. Aku harus cepat kabur sebelum pembicaraan berkembang ke arah yang tidak kusukai. Mungkin Jason akan menuduhku dekat-dekat dengan Papa Mamanya demi uang. Najis. Atau mungkin dia pikir aku masih berminat dengan harta warisan kayak perempuan-perempuan gold digger di luar sana. Jangan-jangan dia pikir aku mau –

"Thank you for bringing Max to meet Papi Mami."

Tuh kan ... dia mau nuduh aku cewek haus harta ... eh apa?

Jason bersandar di kursinya, dia memainkan pen mahal sedangkan matanya menatapku.

"Thank you udah bawa Max ketemu Papi Mami."

Okaaayyy ... Otakku korslet seperti HP murahan diisi kebanyakan foto. Hang. Blank. Aku harus jawab apa? Kalau dia menuduhku punya motivasi terselubung, aku bisa berlagak bak aktris sinetron dengan mata melotot dan mulut dimiring-miringkan lalu dengan dagu terangkat bilang, saya tidak butuh duit bapak!

Lah tapi ini Jason malah bilang terima kasih. Otak ... ayo jawab otak ...

"Ehm ... ya."

"May I know why ..."

Aha!! Tuh kaaannn ... Tuh kan! Dia mau nuduh aku cewek matre! Hu cuma depannya saja sopan.

Kuangkat daguku agak tinggi. "Kalau Bapak pikir saya sengaja bawa Max buat dekat-dekat ortu Bapak demi uang, Bapak salah."

Di depanku, Jason malah tertawa kecil. "I know you are not into money. You rejected my alimony."

"Nah yah begitu."

"Kamu lakukan itu buat Max, betul?" Jason memajukan tubuhnya. "Kamu lulusan psikologi, jadi kamu tahu parenting, those kind of philosophy."

"Kalau iya memang kenapa?" tantangku balik.

"Then I'd like to give you a better offer."

"Yaitu?" mataku memincing.

"Max needs me as his father."

Otakku yang malang dalam 10 menit sudah dua kali ngehang. Mulutku terbuka dan yang keluar adalah tawa sumbang.

Suara Jason berubah sedikit pelan. "I'm sorry. At that time ... I didn't know. You were pregnant. I'm so sorry."

MAAF? Anda telat bertahun-tahun!

"Kamu dulu menghilang ketika aku hamil. Papi Mami kamu cari kamu kemana-mana tapi enggak dapat. Kamu enggak pernah kontak aku sama sekali. Pertama kamu ketemu Max kamu malah marahin dia, lalu ..." Aku kehabisan napas! "Lalu sekarang tiba-tiba kamu bilang mau jadi Papanya Max?? Kamu sudah gila ya?" 

Jariku menuding Jason. Yang dituding tak terpengaruh. Jarinya tetap memutar pulpen membuatku makin emosi. Aku sudah tidak peduli tata krama dan langsung menuding bosku dengan sebutan kamu lalu marah-marah di depannya. Dia yang gila! Dia yang sinting!

"You don't understand, Max is very brilliant. He is-"

Aku mengangkat tanganku memotong ucapan Jason. "Kamu cuma mau sama Max karena dia pinter, dia jago main catur." Suaraku bergetar menahan emosi. "Aku sudah milih akan sayang sama Max sebelum dia lahir. Aku enggak tahu apakah dia bakal lahir normal apa enggak, bakal cacat apa enggak. Aku sama sekali enggak tahu. Tapi aku sudah putusin buat sayang dan terima Max."

Aphiemi ( EDITED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang