Part 34 : Kena Prank

25.9K 3.1K 255
                                    

Hi gaesss, kmrn banyak yg bertanya2. Kok chapternya pendek? Kok beda?

Yes chapter kmrn adalah chapter yg kutulis baru. Jadi ada masukan dari beta reader utk lebih mendalami dan mengulik sisinya Jason. Khususnya bagaimana dia memulai utk keluar dari masa lalunya. So I added that chapter.

Kenapa kok pendek?

Tadinya pengen kugabung dgn chapter hari ini but aku baru sadar kalau ini two different pov. Jadi supaya lebih mulus kupisahkan 😅. Maaf kalau membuat bingung.

Ini gue lagi working trip jadi jadwal padet det det. Makanya gue pakai fitur published by schedule tapi kayaknya masih ada hiccups di sana sini. Kalo dah balik working tripnya, I'll check it again.

Thank youuu
***
Aku mengetuk pintu apartemen Jason dengan ragu-ragu. Pintu mahogani Jason sama persis dengan pintu di unit sebelah. Pintu dibuka lebar-lebar di ketukan ketiga.

"Come in." Jason mempersilahkanku masak. Lama-lama aku terbiasa melihat Jason dengan atasan kaos dan celana pendek. Aku menghitung sejenak apakah lebih baik kita bercakap-cakap di tempat lain?

"Ika ... masuk," perintah Jason melihatku hanya bimbang. Aku menurut. Apartemen Jason lebih luas dari tempat yang dia sewakan. Ukuran ruang keluarganya mungkin dua kali unit sebelah. Namun, apartemen ini terasa kosong. Dindingnya polos. Hanya ada satu jam dinding di atas wall mounted TV. Tak ada foto, lukisan, pernak-pernik. Apartemen Jason terasa seperti apartemen di majalah furniture. Rapi tanpa penghuni.

Yang penuh adalah dapur Jason. Kitchen island-nya lebih panjang. Di atas kitchen marble berderet aneka gadget memasak yang aku tak tahu apa namanya. Dua buah cangkir besar tersaji berhadapan di meja makannya.

"Kamu mau ngobrol di mana?" tanya Jason.

Aku hanya mengedikkan bahu.

"Di meja makan saja." Jason memutuskan lalu menggiringku ke ruang makan. Aroma coklat hangat menari di ujung hidungku. "Jadi, kamu mau bicara apa?" Jason menangkupkan kedua tangannya. Kami duduk berhadapan, bahu Jason maju ke arahku. Spontan aku mundur.

Aku menyesali keputusanku. Sepertinya lebih baik jika aku berbicara lewat email, atau telepon saja. Tidak tidak, aku sudah di sini. Perlahan kutarik kertas yang sedari tadi kusembunyikan di belakang punggungku.

"What is this?" kening Jason berkerut.

"Kalau kamu mau kasih tahu Max, kamu papa kandungnya, maka ..." aku berdeham sejenak. "Aku mau kita bikin perjanjian black and white."

"Tentang?"

"Kejelasan 'status' kita." Aku membuat tanda kutip ketika menyebutkan kata status. "Kita co-parenting demi Max, tapi kita enggak ada apa-apa. Bukannya aku mikir kamu mau ada apa-apa sama aku," tambahku cepat-cepat memberi klarifikasi. Aku sengaja tak melihat Jason, aku tak mau melihat ada senyum meremehkan atau rasa tersinggung karena dia tidak pernah merasa ada apa-apa di antara kita.

"Kalau aku bikin kontrak kerja, maka pasti ada pasal-pasal bagaimana kalau karyawan melakukan tindakan kriminal dll, apa artinya aku nuduh orang itu mau mencuri, kan tidak," jelasku. Penjelasan yang aneh memang. "Kamu baca sendiri deh."

Jason membolak-balik kertas di depannya. Kerutan di keningnya makin dalam.

"Kalau aku mau bertemu dengan Max harus seizin kamu?"

"Iya. Namamu tidak ada di akta Max. Hanya namaku yang ada di situ. Hak asuh Max sepenuhnya ada di tanganku." Aku ada bukti nyata jelas. Surat-surat tanggalnya pun jelas kalau kami bercerai sebelum Max lahir.

Aphiemi ( EDITED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang