Part 54 : Kepergok Max

61.6K 4.9K 448
                                        

Aku lupa sepandai-pandainya tupai melompat bisa jatuh juga. Sepintar-pintarnya aku dan Jason sembunyi dari Max bisa ketahuan juga.

Kemarin malam Jason menginap tidur di kamar Max, lalu subuh tadi sudah berangkat ke airport. Ketika sarapan, Max tiba-tiba bertanya.

"Papa pacaran ya sama Mama?" celetuk Max polos sambil memakan roti mesesnya. Aku? Tersedak.

"Max ada ulangan hari ini? PR semua sudah bikin?" tanyaku balik. Kupasang wajah polos seolah aku tak mendengar pertanyaan Max.

"Mamaaa ... Max bukan anak TK. Mama ngaku deh ... Mama pacaran sama Papa?"

Aduh anak zaman now, dapat darimana sih kosa kata kayak begitu?

"Itu bukan urusan anak-anak, Max,"

"Yang pacaran kan Mama. Papa Mama kan orang gede," timpal Max.

"Memang menurut kamu pacaran itu apa sih? Coba Max ngomong Mama dengerin." Aku melipat tangan dan menunggu Max berbicara.

"Hmmm ... cewek cowok pergi bareng."

"Mama cewek, Max cowok, kalo kita pergi bareng memang kita pacaran?"

"Idih Mama kok gitu aja enggak tahu." Max mengerang. "Bukan begitu. Pacaran itu ... peluk-pelukan ... cium-ciuman ..."

"Mama juga peluk Max, cium Max," jawabku tidak mau kalah.

"Idih Mama begini aja kok enggak tahu.Kemarin Max lihat Papa peluk Mama."

"Mama kalau peluk aku kan bentar. 10 detik gitu. Kemarin Papa peluk Mama lamaaa."

ADUH JASON! TUH KAN KEMAREN JUGA KUBILANG JANGAN PELUK-PELUK! IDIH!! Aku sibuk memaki-maki Jason dalam hari. Kemarin sudah kubilang kalau Max belum tidur gimana? Kata Jason dia yakin Max udah tidur.

Jason mah enak sekarang terbang, lah aku yang jawab semua pertanyaan Max!

Aku memutar bola mata. Awas nanti balik kusuruh Jason aja yang ngomong sama Max! Eh jangan nanti dia malah ngomong yang macem-macem.

"Ya itu kemarin papa kamu takut denger geledek," jawabku asal. "Kamu kalau udah jam tidur dong jangan melek aja." Aku ganti mengomeli Max mencoba menutupi rasa malu. Itu enaknya jadi emak-emak yah, aku yang salah yang diomelin anak-anak. Tobat, Ika. Tobat!

Bukannya sedih Max malah cengegesan. "Mama mending sama Papa aja."

"Max kamu ada PR apa?"

"Aku enggak mau ada Om-om lain jadi Papa aku," celetuk Max tiba-tiba. Aku memandangi Max lekat-lekat. Selama ini Max selalu kelihatan baik-baik saja. Happy-happy saja. Namun kurasa tetap ada luka. Luka yang dia tak ucap. Apakah Max tahu aku dulu dekat dengan Gio? Apa Max dulu sempat kuatir aku menikah dengan orang lain?

"Enggak ada Om-om lain, Max," ucapku lirih. Enggak ada ...

"Mama janji?"

Aku membungkuk lalu menjulurkan jari telunjukku. "Pinky promise. Enggak ada Om-om lain yang jadi papa kamu."

Secara psikologis aku belajar mengenai dampak dari perceraian, pertikaian orang tua kepada anak-anak. Namun waktu itu aku belajar sebagai orang luar. Sebagai pengamat, yang melihat dari jauh tanpa merasakan luka si anak.

Kini ... aku melihat hal yang nyata, ketakutan putraku yang tak pernah dikatakan, tahun-tahun yang hilang, masa dia dipaksa dewasa sebelum waktunya. Anak-anak tak pernah jadi orang tua. Tapi orang tua pernah jadi anak-anak, pernah jadi anak-anak yang rindu akan orang tuanya.

Jika masalahku berat seperti KDRT, tentu aku tidak akan segoblok itu berpikir untuk kembali. Salah-salah aku jadi almarhumah. Nehi-nehi jabang bajaj! Perselingkuhan buatku juga big no no no. Namun masalah kami bukan itu semua, masalah kami komunikasi yang buruk, rahasia yang disembunyikan, luka yang dipendam. Parah? Yah parah. . Tapi ternyata ketika ego ditekan, ketika komunikasi dipelajari, ada yang bisa berubah.

Aphiemi ( EDITED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang