Mt Eleanor Hospital
"Sus, dokternya datang jam berapa?" tanyaku kepada suster jaga di UGD.
"Katanya sebentar lagi, Bu."
Sebentar lagi. Dari satu jam lalu juga sudah bilangnya sebentar lagi. Aku menahan emosi. Ini sih alamat aku dan Max harus menginap di rumah sakit. Dokter hanya datang sebentar memeriksa Max, memberi obat lalu pergi. Katanya harus dimonitor dulu.
Di kasur rumah sakit, Max berbaring dengan masker oksigen menutupi mulut dan hidungnya. Bahu kecil Max naik turun dengan cepat. Sekarang sudah lebih baik daripada ketika aku membawanya ke rumah sakit.
Tadi sore, Ms Libby menghubungiku, asma Max kumat. Sudah disemprot dengan inhalernya tetapi tidak berkurang. Ketika aku melihat Max, wajahnya sudah pucat dan agak kebiruan. Buru-buru aku membawanya ke rumah sakit Mt Eleanor yang untungnya hanya berjarak 5 menit dari kantor.
Aku dan Max sudah langganan masuk Unit Gawat Darurat. Setahun yah mungkin ada 2-3 kali. Max juga sudah disuntik dengan obat yang lebih keras untuk membuka saluran pernapasannya. Aku menyelimuti kaki Max.
"Udah mendingan?"
Dengan lemah Max mengangguk.
"Punggungnya sakit?"
Max mengangguk lagi. Aku pindah ke belakang Max, menaikkan sedikit sandaran kasur rumah sakitnya sehingga Max berada dalam posisi duduk. Jemariku memijat lembut punggung Max. Tulang. Semuanya tulang. Daging Max sedikit sekali, tanganku dengan mudah merasakan tulang belulang Max. Mataku basah.
Setiap kali Max sakit, aku selalu dikejar rasa bersalah. Semestinya aku lebih peduli dengan makanan Max. Semestinya aku lebih giat mengajaknya berenang (Sekalipun habis berenang biasanya Max justru sakit karena kedinginan dan ketularan orang-orang yang batuk di kolam renang. Sungguh aku jijik, melihat kadang ada orang-orang yang meludah atau membuang dahak di kolam renang!
Yang lebih membuatku sedih, Max anak yang sangat pengertian. Dia jarang mengeluh. Tidak pernah rewel ketika disuruh minum obat.
Max mulai menunjukkan gejala-gejala dia asmatic sejak umur 2 tahun. Jika terkena batuk, akan ada bunyi ngik-ngik-ngik. Kubawa ke dokter anak dan dokter anaknya mengatakan Max ada kecenderungan asma. Harus terus diamati.
Sejak bayi memang sering Max harus dinebu, sampai aku membeli alat nebuliser untuk Max di rumah.
Sayangnya semakin besar, kesehatan Max sering memburuk. Batuknya makin sering. Dia sudah harus menggunakan inhaler prevention setiap hari, tetapi tetap saja. Jika kondisinya memburuk, Max bisa kumat. Ketika dia dibully di TK, asma Max juga kumat parah. Kata dokternya, Max tidak boleh terlalu stress.
Ada satu pertanyaan dokter yang tidak bisa kujawab, "Apa ada keturunan asma?"
Dari keluargaku jelas tidak ada. Dari keluarga Jason, mana kutahu.
Setelah menunggu 30 menit lagi, jam 9 malam, baru dokter menenggok Max.
Kening dokter berkerut ketika melihat lembar depan berisi berat badan dan tinggi Max.
"Ini tiga bulan yang lalu juga sempat kumat ya?"
"Iya, Dok," sahutku lemah. Aku tak berani melihat dokter. Takut mendapati pandangan menghakimi, ibu yang payah, ibu yang cuek, ibu yang tidak peduli dengan anaknya.
"Ini rawat inap saja ya, Bu. Saya mau check darah. Sudah pernah tes alergi?"
"Belum, Dok," jawabku lirih. Tes alergi harganya tidak murah-murah amat, dan beberapa kali ketika Max ingin tes, dia sedang dalam perawatan minum obat corticosteroid tidak boleh test. Begitu obat dihentikan. Lalu aku dikejar deadline. Ya ... ya ...aku ibu yang payah. Mataku basah lagi. Aku tak butuh orang lain mengingatkan betapa payahnya aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphiemi ( EDITED)
RomanceHi, aku Silka Loekito, employee no 27 from start up company Mother& Me. Aku direkrut langsung oleh Mbak Mel, employee no 2. Aku juga single mom dengan satu anak, Max Putra Loekito. Hidupku sebagai budak eh karyawan korporat biasa-biasa saja. Hingg...