Part 51 : Permintaan Max

41.7K 4.1K 184
                                    

 Di sesi terakhir mbak Rana seperti biasa memberikan wejangan. "Jangan terburu-buru untuk memutuskan menikah kembali apalagi dengan dalih anak."

"Menurut data statistik di Amerika, 60% pernikahan kedua berakhir dengan perceraian," imbuh Jason. Aku langung meliriknya. Maksud lo apa?

"And 30% of the remarriage couples ended up divorce for the second time," lanjut Jason seolah dia sedang melaporkan laporan penjualan diaper cream di rapat direksi.

Bagaimana sih ini orang? Kemarin-kemarin ngajak balikan kok sekarang malah kasih tahu kalau remarriage yang cerai juga banyak??

Di hadapanku mbak Rana malah mengangguk setuju. "Betul, Jason."

"The odds are against us," ucap Jason sambil melirik ke arahku. "Jadi kalau kita mau menikah lagi dan stay marriage we need to work harder."

WE? Biasanya cowok itu kan janji yang manis-manis, yang baik-baik dalamnya lautan akan kuseberangi, lah ini kok malah kasih data statistik perceraian yang jelas-jelas kasih tahu kemungkinan rujuk gagal itu gede?

"Banyak pasangan memutuskan untuk menikah lagi hanya demi anak-anak, tetapi akhirnya kembali bercerai karena mereka tidak membereskan akar kenapa mereka bercerai, akhirnya kesalahan yang sama berulang lagi. Siapa yang jadi korban? Anak-anak tersakiti dua kali," jelas mbak Rana.

"Tuh ... aku setuju," jawabku spontan. Sebel memang banyak orang mengatas namakan anak-anak padahal sebenarnya ujung-ujungnya malah menyakiti. "Memang lebih baik tidak kalau enggak siap."

Mbak Rana hanya memandangku lalu tersenyum. "Kalau Silka mah saya enggak kuatir. Pasti mikirin Max." Ketika berpamitan, Mbak Rana memelukku dan berkata.

"Buat Silka, saya buatkan open date ya."

"Open date maksudnya gimana Mbak?" tanyaku heran.

"Yah kalau nanti, mungkin beberapa bulan atau berapa tahun lagi mau ketemu ngobrol, silahkan hubungi saja," ujar mbak Rana manis.

"Oo okay, siap, Mbak."

Sekalipun aku tidak tahu kenapa aku bilang siap. Aku pergi melangkah dan dilingkupi rasa aneh. Aneh bahwa setelah ini ... kami akan jadi ... kami tidak jadi apa-apa. Weird.

"Jadi sudah tidak ada sesi lagi?" gumamku. Jason dan aku sedang berjalan ke mobil yang diparkir di depan klinik mbak Rana.

"Nope. Kamu denger kan tadi mbak Rana bilang apa?"

"Yah bahwa kita sudah sama-sama tahu apa yang kita mau, kita sudah membereskan masa kecil dan juga belajar berkomunikasi dengan benar, conflict resolution yang bisa berguna dengan Max." Aku mengulang kalimat mbak Rana.

"Lega toh. Kita selesai konseling dan ... nobody force you to marry me." Jason tersenyum. "Max masih di tempat Rumi? Mau dijemput sekarang?" tanya Jason. Selama kami konseling Max kadang di tempat Rumi, kadang di rumah Jason tergantung siapa yang bisa.

"Iya lega," jawabku pendek. Habis mau jawab apalagi?

"Kamu ada waktu kosong lebih banyak, mau nambah kelas ngajar Yoga?"

Aku menggeleng. "Aku cuma ambil sebulan dua kali. Kan harus penyesuaian dengan direktur."

Alis Jason terangkat dan senyum tersungging di bibirnya. "Kamu ambil kan?"

"Yah gimana lagi."

Setelah berdiskusi panjang lebar dengan mbak Mel, mbak Sita dan Bang Angiat, aku sudah memutuskan untuk menerima promosi sebagai Direktur. Ini lompatan besar tetapi ... gajinya juga melompat besar. Yah ... kupikir daripada aku cuma jadi senior HR manager, kalau direkturnya orang baru nanti pasti aku lagi yang kena kan? Sebagai staff paling senior nanti pasti direkturnya tanya-tanya mulu sama aku. Lalu kalau buntutnya nanti aku yang harus ngerjain juga, rugi bandar dong? Gaji sama aja, pekerjaan nambah. Yah mending kuterima jabatan direktur, gaji juga nambah. Ya toh?

Aphiemi ( EDITED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang