Aku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama.Di sini aku hanya seorang figuran yang mengamatinya dari kejauhan.
Dia dan sang istri adalah pemeran utamanya.
Lelaki itu bernama Marodie Suteja. Akrab dipanggil Prof Rodie. Dia adalah seorang dokter obgyn yang satu tempat kerja denganku.
Sedangkan istrinya adalah seorang dokter spesialis jantung yang terkenal jenius bernama Issa. Mereka bekerja di beda tempat, tapi aku sering bertemu wanita itu jadi aku tahu kalau dia sangatlah awet muda, sederhana dan beraura keibuan.
Pernikahan mereka dikaruniai enam orang anak dengan jarak beragam. Anak kelima mereka baru selesai menempuh internship dan siap bekerja sebagai dokter sungguhan. Sedangkan anak bungsu mereka masih SMP. Tapi aku berfirasat kalau si bungsu akan menyusul jejak lima kakaknya menjadi dokter juga.
Sedangkan si pengamat ini adalah seorang perawat dokter umum. Berkali-kali aku hanya melihat Rodie melintas ketika jam prakteknya tiba karena kami berbeda bagian. Ketika pekerjaanku selesai, Rodie justru baru mulai. Oleh sebab itu aku tidak punya banyak kesempatan untuk berlama-lama bertemu dengannya. Namun dengan melihatnya sekilas saja aku bisa sedikit berbahagia.
Inilah catatan kecil yang kutulis selama mengaguminya dari kejauhan....
Hari ini dia memakai kemeja kotak-kotak dengan paduan celana jeans kelabu. Dia datang terlambat tiga puluh menit dari jam prakteknya dengan alasan yang sudah terlalu kuhapal di luar kepala. Mutawasitoh (Itoh) selaku bagian administrasi bilang kalau Rodie terlambat karena solat berjamaah dulu di masjid. Bahkan beliau terkadang menjadi imam.
Ketika lelaki itu melintas, pandangannya mengarah ke tempat lain meski kami berhadapan sekali pun. Seakan-akan aku tidak ada sama sekali. Itu hal yang biasa bagiku untuk tak terlihat di matanya.
Setelah melewatiku, dia berhenti di koridor karena dokter Rendra mencegatnya. Aku tercenung mengamati bahasa tubuh Rodie di depan dokter Rendra. Tangan Rodie digenggam di depan tubuh, menutupi kemaluannya. Layaknya gestur seorang yang amat menghormati lawan bicara penuh keseganan. Padahal secara hierarki, Rodie yang lebih tinggi karena bergelar Profesor dibanding Rendra. Namun Rendra memang lebih tua dua puluh tahun dan secara teknis adalah seniornya istri Rodie di bidang kedokteran jantung.
Aku salut dengan cara Rodie menghargai yang lebih tua, kendati lebih rendah secara kedudukan. Tapi dengan segala kerendahan hatinya, Rodie tetap menampilkan gestur hormat. Orang lain dengan kedudukan tinggi, belum tentu dapat menghormati yang lebih tua sepertinya.
"Rodie, ini saya mau konsultasi sebentar tentang keluhan istri saya. Kemarin saya bilang ke Issa. Katanya konsul saja langsung ke Rodie."
"Oh dari Issa. Iya boleh, Dok. Maaf nunggu lama ya. Saya mah nunggu solat Ashar dulu baru berangkat."
"Ah, tidak apa-apa. Ini saya juga baru selesai praktek."
Mereka kemudian masuk ke ruang praktek Rodie disusul Enin Rini selaku bidan yang mengasisteni.
Aku mengembuskan napas panjang. Setidaknya hari ini aku bertemu dengannya meski dia tidak melihatku seperti biasa. Menyaksikan interaksi kecil tadi cukup membuat hatiku bahagia setelah lelah seharian bekerja. Rasanya seperti pengisian energi tersendiri meski itu hanya hal kecil dari seseorang yang kusukai.
"Udah beres, Na?"
"Eh, udah, Teh Itoh. Ini tinggal siap-siap pulang."
"Selamat berisitirahat. Eh, iya. Minggu depan Ayang Marodie nggak praktek dua minggu. Aduh, padahal kemarin nggak praktek dua hari aja pasiennya udah sepi. Ini nggak praktek dua minggu. Pasiennya pasti sepi banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023