Sebelas detik.
Itu waktu yang diperlukan Rodie untuk melintas di depanku. Pantas saja aku selalu merasa waktu bergulir cepat jika berpapasan dengan Rodie. Ternyata memang hanya beberapa detik, ya?
Hebatnya aku bisa jatuh cinta padanya dengan pertemuan sesingkat itu.
Dengan hitungan detik Rodie mampu membuatku mengaguminya. Bahkan rela mempertaruhkan hidupku untuk bersamanya.
Hari ini Rodie mengenakan kemeja kotak-kotak perpaduan warna biru toska yang kalem. Dia tampak lebih muda dengan gaya berpakaian seperti itu. Tangannya sibuk melipat lengan kemeja ketika berjalan di koridor rumah sakit. Kurasa itu memang caranya menyibukkan diri biar kami tak bertemu. Bahkan ketika pandangan kami tidak sengaja beradu, Rodie langsung melihat ke arah lain tanpa senyuman atau menyapaku sama sekali.
Dia benar-benar seperti bintang yang tak tersentuh.
Di hari lain, aku pernah melihat Rodie dari kejauhan. Dia sedang berjalan di koridor menuju ruangannya. Secara naluri aku langsung bersembunyi di balik monitor biar dia tak melihatku. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku justru melakukannya. Seluruh tubuhku berkoordinasi untuk menghindarinya bagai seorang remaja yang malu bertemu gebetan. Belakangan aku tahu, bahwa manusia memang cenderung menghindari orang yang sangat mereka sukai. Sama seperti yang kulakukan kalau bertemu Rodie di rumah sakit.
"Masih sepi ya, Teh?" tanya seorang pasien pada Itoh.
"Iya, pasien Prof Rodie belum pada datang. Padahal yang daftar udah 20 orang."
Jam menunjuk pukul empat sore. Baru ada tiga pasien yang Rodie periksa. Selebihnya belum ada lagi yang datang.
Aku duduk di nurse station untuk menunggu Pak Tarno menjemputku. Dia lanjut mengantar Yati ke super market sekalian mengantar Rodie ke rumah sakit. Daripada pulang satu mobil dengan Yati, aku memilih menunggu di rumah sakit saja.
"Biasanya jam segini udah banyak yang datang," kata pasien itu lagi. Dia seorang wanita muda yang tampaknya seumuran denganku. Usianya sekitar dua puluh tahunan.
"Dulu waktu asharnya kan lebih sore. Jadi, pasien Prof Rodie terbiasa datang jam setengah lima karena Prof Rodie biasanya datang jam segitu. Kulturnya sudah terbentuk begitu. Tapi sekarang kan jadwal asharnya lebih awal, jadi Prof Rodie juga datang prakteknya lebih cepat. Sedangkan pasiennya masih ngira Prof Rodie datang jam setengah lima," jelas Itoh.
"Oh, gitu, Teh?"
"Iya. Prof Rodie berangkat prakteknya ngikutin jadwal solat. Dia jamaah ke masjid dulu. Baru pergi praktek."
Sang pasien mengangguk-angguk memahami. Aku melirik wajah wanita muda itu. Matanya membesar kagum mendengar penjelasan Itoh tentang kebiasaan Rodie.
"Prof Rodie juga sempet negur saya waktu ashar berubah. Katanya, Toh, sekarang kan jam asharnya lebih awal. Jadi jam tiga sore kamu harus sudah ada di rumah sakit. Rekam medis pasien yang daftar berobat harus sudah siap semua begitu saya datang. Tidak ada keteteran nyari-nyari rekam medis lagi kalau saya sudah datang."
Aku bergidik ngeri mendengar perintah Rodie. Lelaki itu memang terkenal ketat pada aturan. Dia jarang memberi toleransi pada pelanggaran. Seringkali aku merasa Rodie yang kutemui di rumah dan di rumah sakit adalah dua pribadi yang amat bertolak belakang.
"Atas nama Melani."
"Iya, saya!"
Pasien itu memasuki ruangan Rodie ketika dipanggil Enin Rini.
Firasatku sebagai seorang istri sulit dipungkiri. Aku merasa kalau Melani memendam kagum pada Rodie. Lihat saja penampilannya yang sangat rapih untuk menemui Rodie. Dia mengenakan baju bagus, memakai make up, dan bahkan wangi parfum bunga-bunganya dapat kucium dari radius dua meter. Melani seperti mempersiapkan diri sedemikian rupa untuk bertemu Rodie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023