🌼34🌼

2.2K 287 91
                                    

"Duduk dulu," katanya. "Kita bicarakan baik-baik. Kamu mau pisah dari saya?"

"Iya."

"Alasannya apa? Kasih saya alasan yang logis."

"Bunda udah nggak ada. Aku nggak bisa kalau harus nerusin hubungan ini tanpa bunda."

"Kenapa? Kamu nikah sama saya. Bukan sama bunda. Kenapa kamu nyerah waktu bunda nggak ada?"

"Selama ini bunda yang selalu ngebela aku. Dia yang ngasih aku nasehat biar aku kuat ngejalanin ini semua. Prof juga pasti tau alasan bunda ngijinin aku nikah sama Prof. Karena bunda mau kasih Yati pelajaran lewat aku. Biar Yati tau rasa sakit ketika suaminya punya wanita lain. Sekarang bunda udah nggak ada. Aku ngerasa tugas aku udah selesai."

"Nggak. Alasan kamu nggak bisa saya terima. Saya yakin hubungan kita bukan hanya tentang balas dendam seperti itu. Saya percaya kamu cinta dan sayang sama saya."

"Justru itu masalahnya. Prof yakin kalau aku cinta dan akan selalu maafin apapun yang Prof lakukan. Karena itulah Prof berbuat seenaknya, merasa di atas awan, merasa aman menjadi brengsek sekalipun karena tau aku akan selalu menerima. Aku memang suka sama Prof. Tapi bukan berarti aku bakal selalu diam kalau aku diperlakukan buruk. Aku juga bisa pergi dan cari orang lain!"

"Kapan saya berbuat buruk sama kamu? Selama ini selalu kamu yang saya utamakan. Kamu yang paling saya manja. Semua keinginan kamu saya penuhi. Saya bahkan bekali-kali jadi suami brengsek buat Yati demi jadi suami yang baik untuk kamu. Sekarang kasih saya bukti. Saya kabulkan keinginan kamu untuk pisah kalau kamu bisa kasih saya bukti yang masuk akal."

"Nggak perlu jauh-jauh. Inget kejadian kemarin? Aku nungguin Prof dari jam sebelas siang sampai jam setengah tiga sore. Kita punya janji buat beli perlengkapan Rora. Tapi Prof ngilang gitu aja. Aku hubungi nggak bales. Ditelepon juga nggak diangkat. Nggak ada kabar sama sekali. Aku nggak apa-apa kalau memang Prof nggak bisa. Selama ini apa pernah aku protes kalau kita gagal jalan bareng karena tau-tau Prof ada operasi? Atau sibuk nguji mahasiswa? Nggak kan. Aku cuma perlu dikabarin kalau emang acara kita batal."

Dadaku terasa berat mengingat kejadian setelahnya. Bahwa Rodie meneleponku tanpa nada bersalah, mengatakan bahwa detik itu dia jatuh cinta pada Yati.

"Aku nggak sanggup kalau harus saingan sama Yati seumur hidup. Lagipula kalian sudah saling cinta. Jadi kita selesai aja."

"Itu kan sudah jadi konsekuensi hubungan kita. Dari awal kamu sudah komitmen sebagai istri ketiga dan nerima apa pun risikonya. Sekarang saya sudah sangat bergantung sama kehadiran kamu. Saya sudah terlanjur cinta sama kamu! Kalau memang kamu mau pergi, kenapa nggak dari awal saja kamu tinggalin saya?! SEKARANG SAYA UDAH NGGAK BISA LEPASIN KAMU!"

Kulihat pertahanan dirinya runtuh. Yang semula mendebatku dengan logika, kini justru berubah melankolis.

"Maaf. Sudah.... Saya tau kamu nggak serius bicara begitu. Kamu hanya sedang sensitif. Hati kamu jadi lebih perasa karena hamil. Jadi pikiran kamu tidak stabil," katanya, merengkuhku.

"Saya sedang berduka. Saya baru kehilangan wanita yang paling saya cintai. Saya nggak bisa kalau harus kehilangan kamu juga. Jangan buat saya makin menderita."

Suara Rodie bergetar karena tangis.

"Non, maafin saya ya? Saya memang cinta sama Yati, tapi itu cinta yang berbeda dengan cinta yang saya beri untuk kamu. Kamu nggak perlu khawatir."

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang