Setelah beberapa hari bertahan di Bandung, pada akhirnya Yati keguguran juga. Rodie dan Yati sebetulnya lebih paham bahwa kehamilan di atas usia 40 tahun sangat beresiko tinggi, tapi mereka tetap memilih itu. Dan setelah janin mereka gagal bertahan, mereka mungkin telah menduganya karena mereka memiliki lebih banyak ilmu mengenai itu dibanding orang awam.Tindakan pengambilan janin dari dalam perut Yati ditangani langsung oleh Rodie. Betapa beruntungnya wanita itu bisa ditangani oleh seorang profesor tanpa biaya. Yang juga sekaligus suaminya. Bahkan setelahnya Yati melalui proses pemulihan sambil rutin Rodie jenguk setiap hari.
Kupikir wanita itu akan segera kembali ke Jakarta, namun Enin Rini berhalangan hadir selama dua minggu karena menjadi perwakilan rumah sakit untuk menghadiri semacam pertemuan. Sebagai gantinya, posisi Enin Rini diisi oleh Yati untuk sementara.
Ketika mengetahui fakta itu, jantungku rasanya langsung berdegup sakit. Aku yakin ini pasti permintaan Rodie. Tidak salah lagi. Dia memang orang yang sangat berpengaruh, sampai-sampai pihak manajemen menuruti permintaan Rodie terkait asisten pilihannya.
Aku langsung membayangkan hari-hari kerjaku yang selama ini diusik Enin Rini, mungkin akan bertambah parah karena kehadiran Yati.
Pada hari pertama, aku lihat Yati datang dengan ojek online. Dia melangkah di koridor rumah sakit sambil menenteng helm, menengok-nengok kebingungan mencari ruangan tempatnya akan bekerja.
"Hei!"
Dia menyapa sumringah ketika melihatku, mungkin karena aku satu-satunya orang yang dia kenal di tempat ini. Meskipun di luar, dia mengaku sangat membenciku karena aku telah menikah dengan suaminya.
"Barang-barangnya disimpen di mana?" tanyanya.
Aku bangkit dari tempatku duduk untuk mengantar dia ke ruang ganti sekaligus loker pegawai.
"Cari loker yang masih kosong. Simpen aja barang-barang di situ."
"Oh, udah. Ruangan Mas Rodie di mana?"
"Deket nurse station yang tadi kita lewatin."
"Saya siap-siap dulu kalau gitu. Biasanya dia datang jam berapa?"
"Sekitar jam empat sore paling telat. Mungkin sebentar lagi juga datang."
"Iya, tadi dia ngabarin katanya dia lagi di jalan dari kampus. Baru selesai ngisi kelas."
Aku terdiam. Rodie bahkan tidak pernah mengabariku sampai sedetail itu. Tapi aku berpikir positif, mungkin ini dilakukannya pada Yati karena Yati yang akan jadi partner kerjanya. Sehingga Rodie mengabari demi kelangsungan pekerjaan mereka. Aku dan dokter-dokter lain juga selalu melakukan ini sebagai konfirmasi kehadiran mereka. Setidaknya aku tahu apa yang menghambat semisal mereka terlambat datang.
Baik Itoh maupun Siska tidak curiga mengapa aku bisa kenal dengan Yati, yang notabene-nya adalah istri kedua Rodie. Itu karena tadi siang Bu Rosy selaku kepala poli memberiku tugas untuk membimbing Yati.
"Na, nanti sore ada bidan yang akan jadi asisten Prof Rodie untuk sementara. Pengganti Enin Rini yang berhalangan hadir. Saya minta tolong untuk orientasikan dia ya, Na. Kenalkan letak-letak ruangan dan sistem kerja di sini."
Saat itu aku sangat kaget. Tapi aku tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya bahwa Yati sangat membenciku karena aku istri ketiga. Jadi aku hanya bisa menuruti permintaan Bu Rosy.
"Namanya Yati. Infonya, dia juga istri kedua Prof Rodie."
"Oh, iya. Baik, Bu."
Akhirnya, sekarang Yati justru duduk berdua denganku di nurse station sambil menunggu Rodie datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
Roman d'amourAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023