Kalau hanya kuceritakan, mungkin yang kualami ini terasa sepele. Tapi bagi aku yang mengalaminya, ini semua berat sekali. Rasanya sangat tidak nyaman ketika aku diperlakukan berbeda.Ketika briefing pagi di aula lantai dua, aku duduk di sebuah sofa sendirian sembari menunggu acara dimulai. Sedangkan yang lain asik mengobrol bergerombol di sofa satunya. Terlihat sekali bahwa aku tidak ditemani.
Kami berdiri membentuk lingkaran besar begitu acara dimulai. Aku melihat Rodie berdiri di sebrangku. Matanya melirik padaku dengan tampang khawatir, sementara aku memalingkan pandangan ke arah lain karena kesal. Aku juga tidak mau orang semakin murka kalau melihat dia seperhatian itu padaku.
Selesai briefing, kami kembali ke area kerja masing-masing. Aku melanjutkan pekerjaanku sambil berusaha mengabaikan perlakuan berbeda orang-orang padaku.
Pagi itu ada salah satu pasien dokter umum yang dirujuk internal ke obgyn. Aku memberitahu residen yang berjaga.
"Dok, ada pasien yang dirujuk ke obgyn atas nama Nyonya Tika."
"Hah?!"
"Ini, Dok, ada pasien yang dirujuk internal ke obgyn. Untuk keadaannya—"
"Oh, ya udah. Simpen aja berkas pasiennya di situ," orang itu menjawab dengan nada jutek.
"Makasih, Dok."
Aku tidak banyak membantah meski mendapat respon yang sangat tidak ramah. Aku hanya melakukan tugasku meski hatiku rasanya tidak nyaman.
"Na, ini ada obat tambahan buat pasien Bu Gina. Titip ke farmasi ya. Nanti ibunya tinggal ambil ke sana," kata dokter Anwar.
Aku mengangguk. Kubawa resep itu ke farmasi, tapi wanita yang bertugas (Agnes) justru bangkit dari kursi dan berjalan ke belakang ketika aku datang. Seperti sengaja menghindariku. Keketuk kaca.
"Permisi."
"Permisi."
"Teh? Permisi."
Tak lama, keluar petugas yang lebih tua dari ruang belakang.
"Iya, Teh? Ada yang bisa dibantu?"
"Ini aku titip resep buat pasien dokter umum ya. Nanti dia datang ke sini."
"Simpen aja di situ, Teh."
"Oke. Makasih."
Aku berlalu dari farmasi sambil melamun sepanjang jalan. Rasanya semua orang membenciku. Mulai dari aku yang dikucilkan saat briefing pagi, murid Rodie yang jutek padaku, hingga Agnes yang menghindariku. Aku semakin tidak betah hidup di sini.
"Eh, Dokter Liesa! Kontrol ke Prof Rodie, Dok?"
Kulihat Itoh menyapa ramah pada kedatangan Liesa. Saat itu aku baru tiba ke nurse station.
"Iya, ikut nunggu di sini ya."
"Silakan, Dok."
Pandanganku dan Liesa sempat bertemu. Aku tersenyum sopan sambil mengangguk, tapi Liesa hanya memandang sinis dan memalingkan wajahnya. Sepertinya dia juga membenciku karena rumor yang beredar. Pasti dia memandangku sebagai cewek murahan karena berbuat mesum dengan Rodie.
Sepanjang perjalanan pulang aku melamun, mempertimbangkan apakah aku harus mengundurkan diri dari RS ini atau bagaimana? Tapi aku belum ada pegangan pekerjaan lain. Kurasa, aku harus kuat-kuat menelan semua ini, yang penting dua anakku bisa tercukupi. Soalnya tidak ada lagi yang bisa kuandalkan selain diri sendiri.
Hari ini jadwalku kontrol kandungan pada dokter Rahmat. Aku langsung mengunjunginya begitu pulang kerja. Hanya di tempat ini sepertinya aku bisa merasa aman. Apalagi kalau aku ingat bahwa Rahmat adalah kakak kandung Ian. Hatiku terasa hangat saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023