🌼2🌼

4.2K 387 35
                                    


Mungkin karena dilirik Rodie adalah sesuatu yang langka, maka itu jadi hal yang sangat berharga buatku.

Aku senang melihatnya berjalan di koridor menuju tempatku berdiri. Aku berusaha memandangnya lamat agar bisa mengambil gambaran detail dirinya ke dalam ingatan. Meski nyatanya yang dapat kulihat hanya sedikit sebab waktu seakan bergulir terlalu cepat tiap Rodie datang.

Hari ini yang kulihat adalah rambutnya yang hitam, lebat dengan pinggiran dipangkas rapi. Barangkali kemarin adalah matanya yang cemerlang. Di lain waktu, yang dapat kulihat hanya pipinya yang kemerahan. Sedangkan bagian dirinya yang lain luput dari perhatianku.

Namun setelah semuanya terlewat, yang tersisa adalah sebuah ingatan bahwa aku pernah sangat bahagia detik itu. Kuharap pertemuan kami bisa terjadi lagi dan lagi. Aku rasanya... tidak pernah merasa cukup.

Hari ini dia tidak memandangku meski kami berpapasan sekali pun. Tapi kemarin dia sempat melihatku selama beberapa detik. Entah dua atau tiga detik, tapi aku sangat mensyukuri itu. Semoga saja besok aku bisa lebih beruntung lagi.

Dugh!

Aku terkaget mendengar suara kaki yang terhentak. Kudapati kaki Rodie tersandung. Lelaki itu menoleh ke arah lantai tempat dia hampir jatuh. Seakan-akan hendak mencari tahu penyebab dirinya nyaris celaka. Tapi tidak ada apa-apa di lantai. Bisa-bisanya pria itu hendak menyalahkan lantai, di saat pelaku utamanya adalah kakinya sendiri yang tak mengenakan sepatu dengan benar.

"Eh, nggak apa-apa, Prof?" tanya Enin Rini.

"Nggak apa-apa. Hanya kaget tiba-tiba tijalikeuh."

Lelaki itu kembali melihat ke arah lantai kejadian perkara, seolah-olah mencari kambing hitam untuk disalahkan. Padahal jelas-jelas tak ada apa-apa di lantai itu. Kosong saja.

Ah, dasar. Lelaki itu memang tidak mau disalahkan. Dia selalu mencari kambing hitam atas segala ketidaksempurnaan. Padahal kesalahan terletak pada dirinya sendiri. Aku sudah terlalu hapal tabiatnya yang satu itu. Dia memang keras kepala, merasa benar, tak terbantahkan. Egonya sampai ke titik dia menyalahkan lantai ketika nyaris jatuh. Padahal jelas-jelas cara memakai sepatunya yang salah. Sepatu skechers itu hanya dia masukan setengah, dengan bagian belakang diinjak sampai gepeng seperti sendal. Terbayang, kan?

Menyebalkan.

Anehnya... aku tetap jatuh cinta pada aki-aki bedegong ini.

Dia masuk ke dalam ruangannya untuk bersiap praktek. Sementara aku duduk di nurse station sambil melamun. Kudengar ocehan Enin Rini yang masih di sini sembari menunggu Prof Rodie siap.

"Itoh, berarti tinggal tiga hari lagi ya Prof Rodie praktek."

"Iya gitu, Bu?"

"Iya, nanti Sabtu udah mulai ke Jakarta. Dari situ langsung terbang ke luar negeri sama Dokter Issa. Ih, meni senang ya lihat kemesraan mereka."

Aku melirik Enin Rini. Dia sengaja membesarkan suaranya di depanku sebab kami memang punya konflik internal sejak dulu. Aku merasa tidak cocok mengobrol dengan wanita gila itu karena omongannya terlalu nyinyir, manupulatif dan tukang kompor. Jadi aku menjaga jarak. Sialnya, Enin Rini percaya kalau aku suka Prof Rodie. Jadi wanita itu selalu sengaja memanas-manasiku perihal Prof Rodie. Mungkin dia berharap aku cemburu.

"Yess, nanti dapat oleh-oleh lagi. Pemberian Prof Rodie yang liburan beberapa bulan kemarin juga enak ya, Toh. Ibu mah sampai abis semua itu yang namanya Turkish Delight. Enak! Kira-kira liburan kali ini kita dapat oleh-oleh apa, ya, Toh?"

"Hehe. Nggak tau atuh, Bu."

Tentang percakapan ini, Itoh dan Enin Rini memang dapat oleh-oleh dari Prof Rodie. Sedangkan aku tidak dapat. Jangankan dapat bingkisan. Mengenal aku pun tidak. Menyedihkan. Jujur aku sangat berkecil hati, tapi aku menghibur diriku sendiri kalau semua itu tidak perlu kupikirkan. Aku bisa beli Turkish Delight sendiri lewat jastip. Simpel.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang