Dulu aku selalu mempertanyakan maksud Rodie yang melintas tanpa melirik sama sekali. Aku khawatir aku punya salah padanya. Aku takut dia sedemikian membenciku sampai-sampai tidak sudi melihatku sedikit pun.Tapi... lama kelamaan aku justru bisa menanggapi musibah itu dengan tawa. Layaknya seseorang yang telah menerima takdir dan menertawakan kesedihan yang dialaminya. Itulah yang kulakukan sekarang.
Dari ujung koridor, aku melihat dia datang dengan langkah yang tak terlalu cepat. Pandangannya terpusat pada plafon di sudut rumah sakit, sampai aku berpikir... apakah sedang ada pembangunan sampai Rodie memperhatikan plafon rumah sakit ini sebegitunya? Tapi tidak ada. Ini hanya plafon biasa.
Setelah itu dia melanjutkan langkahnya dengan menghadap ke depan, di mana aku berada tepat di hadapannya. Namun, bukannya melihat padaku, dia justru melihat pada lantai, sampai akhirnya dia pergi tanpa kami bertemu pandang sedikit pun.
Dulu aku akan terpekur sedih memikirkan kesalahanku, tapi sekarang aku justru tertawa sambil menggeleng tak habis pikir.
Rodie tidak berubah. Mugkin selamanya dia tidak akan pernah sanggup menatapku di keramaian.
Selama beberapa hari ini dia tetap begitu, seakan-akan kami tidak saling mengenal. Bahkan aku takut dia melupakan janjinya membawaku ke rumah, melihat dari sikap dia yang amat dingin padaku. Tapi, aku mendengar Rodie bicara pada Itoh ketika datang praktek:
"Toh, besok, hari Sabtu, tanggal 27, saya praktek seperti biasa."
"Baik! Jadi Sabtu ini nggak ke Jakarta, Prof?"
"Tidak dulu."
Itu berarti Rodie mengingat janjinya padaku. Aku sedikit lega mendengarnya. Kukira dia membatalkan semua ucapannya karena belakangan ini tidak menganggap kehadiranku sama sekali.
Di sisi lain, aku juga ketakutan. Aku tidak siap bertemu Issa. Aku takut dia mengamuk padaku, atau bahkan jatuh pingsan mengetahui suaminya akan menikah lagi. Aku mencoba meredakan kecemasanku sendiri.
Sabtu sore, aku masih bertemu Romeo seperti biasa. Dia pulang tepat waktu tanpa mengobrol panjang denganku dulu. Ketika pamit, dia bilang, "Teh Na, aku pulang dulu ya. Bapak bilang mau ada kumpul keluarga."
"Oh, iya, Dok."
Aku tercekat mendengarnya. Pikiranku linglung menyadari bahwa artinya nanti aku akan bertemu dengan anak-anak Rodie. Di situ hatiku semakin tidak karuan. Romeo pasti kaget kalau nanti tahu akulah yang membuat ayahnya mengadakan kumpul keluarga.
Sekarang aku hanya akan mengikuti intruksi Rodie. Setelah Romeo pulang, aku juga bergegas pulang. Setibanya di rumah, aku segera mempersiapkan diri memakai baju terbaik yang kupunya. Sambil sesekali kupikirkan bahwa lelaki yang kusukai masih praktek saat ini.
Selepas praktek, Rodie datang menjemputku menuju rumahnya. Dia hanya menyunggingkan senyum canggung ketika pintu mobilnya terbuka. Kami duduk berjauhan dalam mobil tanpa bicara sama sekali. Aku hanya melihat pemandangan yang terlewat cepat di jendela, sementara hari beranjak gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala.
Aku meremas tanganku yang terasa dingin dengan gelisah. Aku mulai berpikir untuk membatalkan semua ini karena aku malu. Aku tidak siap bertemu keluarganya.
Tapi mobil ini terus melaju membawaku ke kediaman Rodie. Aku turun di depan rumahnya yang megah, mengekori Rodie yang berjalan lebih dulu. Jantungku berdebar tidak karuan sampai kukira aku akan terkena serangan jantung ketika memasuki rumahnya. Keadaan di dalam sangat ramai oleh obrolan dan sayup tawa. Waktu memasuki ruang tengah, seketika suasananya hening. Mereka terpaku memandangi kehadiranku. Aku melihat sekilas muka-muka bingung itu. Ada dokter Ray, Julia, Romeo, anak bungsu Rodie yang masih SMP, dan dua orang lagi yang tak pernah kutemui, tapi berwajah setipe dengan Rodie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023