Sabtu yang kutakutkan datang juga.Bahkan awalnya Rodie berencana pergi ke Jakarta di Jumat malam, selepas dia praktek. Tapi aku memohon padanya untuk pergi besok pagi saja. Issa mendukungku sehingga Rodie tak berkutik lagi karena dua suara istri lawan satu suara istri. Aku dan Issa melawan Yati. Dua menang.
Rodie bangun sejak jam empat pagi. Dia akan pergi dengan kereta pukul lima biar bisa datang di Jakarta pada pukul tujuh pagi.
Melihat Rodie rela bangun pagi buta, bangkit dari kasur dan bersiap-siap sedemikian rupa membuatku sadar bahwa dia memang menyayangi Yati. Dia sampai rela berjuang sejauh itu demi menemui Yati. Padahal di rumah sakit, dia bisa mengamuk pada residen, koas dan mahasiswa kedokteran hanya karena mereka menentukan tanggal bertemu Rodie. Rodie tidak suka diatur. Harus Rodie yang menyebutkan hari maupun tanggal untuk bimbingan mereka.
Namun, pada Yati lelaki itu bahkan rela menurunkan egonya. Hatiku tergores melihat usaha yang Rodie kerahkan demi Yati.
"Pergi sekarang?"
Rodie yang tengah menyisir melirikku dari pantulan cermin.
"Iya, Non. Kamu hati-hati di rumah ya. Telepon saya kalau ada apa-apa."
Aku tidak menjawabnya. Hatiku terasa sangat berat melepas Rodie pergi.
"Kenapa?"
Dia menghampiriku dan duduk di sisian kasur, sementara aku masih berbaring sambil memandanginya.
"Kamu jangan kayak gini, Non. Saya jadi tidak tenang ninggalin kamu sendiri."
Aku mengulurkan lenganku padanya. Kupeluk dia erat. Tak kubiarkan dia beranjak sedikit pun karena aku takut dia akan hilang.
"Ssstt. Udah. Udah."
Dia mengusap punggungku berkali-kali. Menenangkanku.
"Udah, Sayang. Saya berangkat dulu, ya. Nanti saya ketinggalan kereta."
Aku hanya terus memeluknya tanpa mengindahkan perkatannya. Kupejamkan mataku erat, tapi air mata ini tetap mengalir begitu saja karena aku benar-benar takut ditinggalkan. Apalagi setelah mendengar percakapan mereka di telepon malam itu, aku jadi membayangkan yang tidak-tidak. Aku mimikirkan mereka melakukannya, lantas hatiku terasa sangat sakit membayangkan lelaki yang kucintai begitu dengan wanita lain. Mungkin seharusnya aku tidak mendengar apa pun.
"Ssst, Non. Udah. Jangan nangis."
Dia menangkup wajahku yang semula menelusup di dada Rodie agar bertatapan dengannya. Dihapusnya air mataku dengan jempol Rodie yang besar.
"Kenapa nggak mau ditinggal? Biasanya nggak apa-apa kalau saya ke Jakarta."
"Sekarang keadaanya beda. Aku mungkin nggak apa-apa. Tapi anak Prof dalam perut aku yang nggak mau jauh dari ayahnya. Makanya aku ikut kebawa-bawa cengeng."
"Oh, nyalahin anak," jawabnya terkekeh.
Dia memelukku dan menyamankan posisi kami. Tangannya yang ajaib, yang selalu dia gunakan untuk mengobati pasien, kini mengelus punggungku penuh sayang sampai aku mengantuk parah saking tenangnya. Tapi, setiap Rodie bergerak sedikit saja, aku bisa menyadarinya dan mengeratkan pelukanku biar dia tidak pergi.
"Kapan saya perginya kalau kayak gini, Non?" katanya pelan, dengan bisikan yang teramat lembut.
Kubuka mataku dan memandangnya. Mata lelaki itu berkedip malu hanya karena sebuah tatapan. Pertanyaannya pun tak pernah terjawab.
"Dulu mata saya juga hitamnya pekat seperti mata kamu," bisiknya.
Kutatap pinggiran mata hitam Rodie yang berwarna kelabu. Kalau melihat itu, aku sadar kalau lelaki yang kucintai memang telah dimakan usia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023