Ramina menyerahkan undangan pernikahan ke atas meja Rodie. Lelaki itu terdiam, tidak bereaksi apa pun selama beberapa detik."Ini serius?"
"Iya. Datang ya, Prof. Minggu depan aku nikah."
Detik itu dunia Rodie runtuh. Sekujur tubuhnya terasa lemas bagaikan terkena petir di siang bolong. Dia sadar bahwa kali ini dia betul-betul kehilangan Ramina.
Dipandanginya lagi undangan pernikahan itu. Tertera nama Iandika dan Ramina yang menjadi mempelai pengantin. Sedangkan nama Rodie dan Yati tertulis sebagai tamu undangan. Pada akhirnya mereka bersama pasangan masing-masing.
"Kamu beneran ninggalin saya ya, Non?"
Ramina hanya terdiam. Matanya mengarah pada kemeja Rodie, tidak memandang mata Rodie yang berkaca-kaca.
"Saya boleh peluk kamu untuk terakhir kalinya?"
Wanita itu menggeleng. Dia enggan untuk sekadar memberi Rodie kesempatan.
Tangis Rodie pecah sejadi-jadinya. Dada pria itu terasa sesak mengetahui wanita yang amat ia cintai akan menjadi milik lelaki lain. Namun Ramina sama sekali tak berkutik. Dia tak menenangkan Rodie. Ramina hanya membiarkan lelaki itu tenggelam dalam lukanya sendiri.
"Aku juga mau pamit. Rencananya tiga bulan lagi aku sama Rora mau ikut Ian ke luar kota. Ian ada kerjaan di sana. Nggak perlu khawatir tentang Rora. Prof masih bisa ketemu dia lewat video call. Aku juga akan rutin pulang ke Bandung buat ketemu mama. Saat itu Prof bisa sekalian ketemu Rora."
Rodie tidak menjawab apa pun.
Ramina pikir segalanya telah selesai. Tidak ada lagi yang perlu mereka bahas. Jadi wanita itu pergi meninggalkan Rodie sendirian di ruangannya.
-o0o-
Rodie tidak masuk kerja ketika hari pernikahan Ramina dan Ian. Pria itu memilih untuk melarikan diri ke luar kota, menyewa hotel dengan pemandangan alam, lantas menghabiskan waktu di sana sambil melamun. Sesekali air matanya menetes, memikirkan bahwa mungkin detik ini Ramina sedang akad nikah.
Hati pria itu benar-benar kalut. Menjelang malam, tangisnya makin kencang membayangkan bahwa mungkin saja Ramina sedang menghabiskan malam pertamanya dengan Ian. Rodie tak sanggup membayangkan, bahwa wanita yang ia sayangi akan telanjang di depan pria lain. Gadis kecilnya akan berhubungan badan dengan Ian. Rodie tidak bisa mengenyahkan bayangan tentang burung besar Ian yang akan menyerang Ramina. Rodie tidak akan pernah rela.
Dulu, Rodie membayar semuanya dengan menjadikan Ramina fantasi seksnya. Dengan cara itu setidaknya Rodie terhibur. Tapi bahkan detik ini Rodie tidak berminat untuk menjadikan Ramina sabagai bahan masturbasinya dikarenakan rasa sedih yang menyelimuti. Perasaan sedih itu mengalahkan segalanya.
Rodie meraih ponselnya dengan tangan gemetar. Matanya basah karena tangis. Dengan hati yang kalut, diketiknya pesan untuk wanita yang amat ia cintai.
Rodie
Ramina, selamat ya atas pernikahan kamu.
Maaf saya nggak bisa datang.Pesan itu sampai di ponsel Ramina, tapi tidak dibalas.
Rodie hanya bisa tersenyum miris.
Rodie
Saya ingat waktu dulu kita jalan berdua, bergandengan tangan. Atau waktu dulu saya perluk kamu dan kita menghabiskan malam-malam berdua. Saat itu saya pikir kita nggak akan pernah pisah.
Saya kira kita akan selamanya seperti itu. Nggak terbesit sedikit pun di benak saya bahwa akhirnya akan begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023