Hari ini Rodie tidak praktek. Aku dengar dia sedang ada pertemuan ilmiah dokter obgyn seluruh Indonesia di luar kota. Entah di mana. Aku tidak begitu mengikuti detailnya.Sesuai prediksi, pasien yang berobat ke poli obgyn menurun drastis ketika Rodie digantikan dokter lain. Bu Rosy jadi sedikit uring-uringan karenanya. Terlebih Rodie tidak akan praktek selama satu minggu.
Anak pertama Rodie hanya bisa menggantikan praktek ayahnya selama dua hari. Sebab dia juga sibuk praktek di tempat lain dan akan menyusul datang ke pertemuan dokter obgyn juga.
Sayangnya, jumlah pasien tetap tak menentu ketika anak Rodie menggantikan praktek Rodie. Aku pernah mendengar salah satu pasien mengaku lebih cocok berobat dengan Rodie ketimbang anaknya. Ketika ayah dan anak menggeluti bidang yang sama, perbandingan memang tidak bisa dihindari. Itu sudah menjadi risiko.
Mungkin itu sebabnya Romeo tidak mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang dokter Obgyn. Aku tidak tahu dia sekarang sekolah lagi atau bagaimana. Selepas kepergian Issa, kudengar Romeo juga keluar dari rumah sakit itu.
"Eh, Dok!"
"Eh, Bu Enin."
Panjang umur. Orang yang kupikirkan datang ke rumah sakit ini. Romeo hadir dengan baju santainya berupa kaos polo dan celana jeans. Dia kelihatan melihat-lihat sekitar.
"Lagi ngapain di sini, Dok? Mau praktek lagi?"
"Haha. Nggak. Mau numpang ke WC aja. Tadi aku abis tukeran mobil sama Pak Tarno."
"Oh, gitu. Kirain mau praktek di sini lagi, Dok!"
"Aku lagi kuliah, Bu. Ngambil spesialis kulit."
"Wah! Cocok, Dok!"
Aku menguping pembicaraan itu sambil mengisi rekam medis pasien. Ketika mendongak, pandanganku dan Romeo bertemu. Dia tersenyum sopan.
"Eh, Teh Nana," sapanya sembari mengangguk.
"Iya, Dok. Hehehe."
Aku melirik ke arah Siska. Dia kelihatan tidak bisa diam. Seperti campuran antara salah tingkah dan gelisah. Yah, namanya juga bertemu dengan orang spesial. Pasti saja tingkahnya berubah seperti ini. Siska juga pasti merasa panas mendengar Romeo sedang menempuh pendidikan dokter spesialis kulit. Siska pasti makin berminat menjadi pasangan Romeo.
Untungnya, Romeo kelihatan biasa saja, bahkan cenderung mengabaikan keberadaan Siska yang seperti cacing kepanasan. Aku tidak heran. Romeo itu sama seperti ayahnya yang mudah membuang wanita usai mendapatkan keuntungan.
"Eh, dokter Romeo! Sehat?" sapa dokter Anwar.
"Sehat! Dokter gimana? Sehat?"
"Saya juga sehat, Dok. Hebat nih. Lagi lanjut kuliah lagi ya, Dok?"
"Iya. Dok Anwar nggak lanjut kuliah lagi?"
"Waduh, saya kan nggak kayak kamu yang anak konglomerat. Saya harus ngumpulin uang dulu."
Wajah Romeo langsung memberengut canggung. Seperti orang yang salah bicara.
"He he he. Ah, saya juga nggak sepenuhnya uang orang tua. Ada sedikit uang sayanya juga kok," bela Romeo dengan wajah konyol.
Mereka pun lanjut mengobrol entah apa, sementara aku sibuk mengerjakan pekerjaanku.
Satu yang kusimpulkan, ternyata Rodie yang membiayai uang kuliah Romeo ya? Kukira Romeo pakai uang sendiri. Wah, Rodie benar-benar banyak uang. Tidak heran kalau istrinya pernah lebih dari satu.
Begitu kembali ke nurse station, kudapati Romeo sudah tidak ada. Wajah Siska berubah murung, mungkin karena dia berpisah dari orang yang dia cintai tanpa ada komunikasi berarti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023