🌼8🌼

2.4K 292 34
                                    


Jika aku dan Rodie memang tidak ditakdirkan bersama, lantas kenapa aku merasa tidak asing padanya?

Aku selalu merasa telah mengenalnya lama. Seakan-akan dia adalah bagian diriku yang hilang. Seperti ada ikatan ajaib yang membuatku merasa dekat sejak melihat wajahnya. Bahkan pada Romeo dan lelaki lain aku tak pernah merasa begini.

Aku butuh isyarat dari Tuhan jika memang Rodie tidak ditakdirkan untukku.

Dalam hening malam aku memohon padaNya untuk ditunjukkan jalan semisal aku memang ditakdirkan bersama Rodie. Tapi, jika kami tidak akan pernah bersatu selamanya, maka aku minta agar musibah ini diganti dengan uang belasan juta. Iya... bagiku tidak dicintai oleh orang yang kita cintai adalah sebuah musibah. Jadi aku minta Tuhan mengganti musibah ini dengan sesuatu.

Doaku mungkin kedengaran mengancam, tapi pada siapa lagi aku meminta kalau bukan pada Tuhan?

Doa itu kulepaskan dengan penuh kepasrahan. Tak apa bagiku jika memang tidak bisa bersama Rodie. Mencintainya dari kejauhan sudah cukup membuatku bahagia. Tapi akan lebih melegakan seandainya aku diberi petunjuk tentang akhir dari semua ini. Sejak dulu aku selalu penasaran bagaimana akhir dari kisahku mencintai dalam diam.

Esok harinya, setelah aku berdoa, aku mendapat kabar dari Itoh.

"Gosipnya bulan ini kita bakal dapet uang bonus tahunan, ya?" katanya.

"Kata siapa? Bukannya keuangan rumah sakit ini lagi nggak sehat karena BPJS nunggak bayar? Denger-denger manajemen lagi sibuk nombokin biaya operasional. Bahkan bulan kemarin aja RS ini ngutang dulu ke perusahaan lain biar bisa bayar THR kita," kataku.

"Aku juga nggak tau, Na. Tapi kemarin Bu Rosy sama A Gagan sempet ngebahas tentang bonus tahunan. Katanya pertengahan bulan ini bakal cair sekitar lima belas juta per orang."

"Oh, gitu," timpalku.

"Kenapa? Kedengerannya kok nggak seneng?"

"Enggak apa-apa kok."

Aku mengembuskan napas panjang. Mungkin ini petunjuk dari doaku semalam. Kabar mengenai uang belasan juta langsung kudengar. Inilah pengganti musibahku. Sekaligus isyarat dari Tuhan bahwa aku dan Rodie tidak ditakdirkan bersama.

Terima kasih, Tuhan. Sekarang aku sudah tidak penasaran lagi dengan akhir cerita cinta dalam diam ini. Sekarang aku bisa bernapas lega dan tak berharap muluk-muluk.

"Ah, beres juga. Eh, Teh Nana! Kok lemes banget?!"

Romeo keluar dari ruangannya dan duduk di kursi sampingku.

"Lagi sedikit sedih aja, Dok."

"Kenapa? Coba cerita. Aku nggak akan kasih tau siapa-siapa. Janji!"

"Ehm," aku berdeham sambil melihat keadaan sekitar. Aman. Sepertinya tidak akan ada yang menguping. "Jadi gini, aku berdoa buat minta petunjuk misalkan aku berjodoh sama orang yang aku suka, maka mudahkan jalannya. Tapi kalau nggak, aku minta buat ganti kesedihan itu dengan uang belasan juta. Terus tadi aku dapet kabar kalau bonus tahunan bakal cair bulan ini, Dok."

Romeo tertawa seakan-akan aku baru saja melucu, padahal aku serius.

"Lagian Teh Nana suka sama siapa sih? Doa sampe segitunya."

Suka sama bapakmu, jawabku dalam hati.

"Adalah orangnya. Rahasia, Dok."

"Sesama perawat juga? Temen kuliah? Apa temen kerja? Apa jangan-jangan satu RS?"

"Enggak... bukan."

"Oh, bukan perawat?"

"Bukan." Dia seorang profesor, tambahku dalam hati.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang