🌼7🌼

2.5K 304 50
                                    


Hari ini dia tidak melihatku lagi.

Kami berpapasan di koridor rumah sakit yang sepi. Hanya ada aku di ujung jalan, tapi Rodie hanya melihat ke arah lain sepanjang langkahnya. Entah melihat pilar, tembok, kanopi yang mungkin lebih menarik, padahal jelas-jelas ada manusia bernyawa di depannya. Dia bahkan menunduk ketika melewatiku.

Sikapnya yang seperti itu membuatku mempertanyakan kesalahanku sampai dia bisa sedemikian menolak untuk bertegur sapa denganku.

"Sore, Teh."

Lamunanku buyar ketika Prof Yuda datang melintas. Dia tersenyum ramah sambil menyapaku.

"Sore, Prof. Praktek?"

"Iya nih. Masih praktek aja. Duluan ya, Teh."

"Iya, Prof!"

Perbedaan Prof Yuda dan Rodie jadi begitu mencolok. Awalnya kukira wajar seorang guru besar mengabaikanku. Namun, buktinya Prof Yuda bisa sangat ramah padaku. Dia bahkan tersenyum lebih dulu ketika pikiranku masih melamun.

Kalau kuingat-ingat lagi... sebagian besar dokter memang minimal tersenyum ramah ketika melewati nurse stastion ini. Hanya Rodie yang terus melangkah tanpa menyapa sama sekali.

"Akhirnya beres juga," Romeo keluar dari ruangannya, lantas duduk di kursi sebelahku. Dia mengembuskan napas panjang dan meregangkan ototnya setelah berjibaku dengan puluhan pasien hari ini.

"Sepuluh menit lagi aku OTW pulang. Lagi nunggu Siska siap-siap. Kalau ada pasien lagi tolak aja ya. Biar dateng buat dokter Hendi yang jaga sore."

"Baik, Dok."

Aku merapikan berkas pasien agar nanti pihak rekam medis tinggal mengambilnya. Aku tidak bertanya apakah Romeo akan pulang bareng Siska, karena tampaknya mereka memang akan pulang bareng seperti biasa.

"Tadi Prof Rodie baru datang," kataku, memancing topik.

"Wah? Jam berapa ini? Tumben dia udah dateng." Romeo melirik jam tangan di pegelangan kirinya. "Ah, iya. Jam solat ashar udah kembali awal. Jadi dia pergi lebih cepet juga. Pantesan."

"Jadi dia solat di rumah dulu ya?"

"Iya," jawab Romeo tanpa ragu.

Aku entah ingin bertanya apa pada Romeo tentang ayahnya. Rasanya ada yang ingin kutanyakan, tapi mendadak saja lupa.

"Teh Na, jangan bilang aku pulang bareng Siska ke Prof Rodie ya. Bisa-bisa aku diamuk dia kalau deket sama perempuan kayak gini."

Aku hanya mengangguk. Lagipula bagaimana caranya aku melapor pada Rodie sementara aku sendiri tidak mengenal Rodie.

"Eh, udah beres? Ayo pulang," kata Siska yang baru keluar WC.

"Ayo, eh bentar. Ada yang ketinggalan di ruangan."

Romeo kembali ke ruangannya lagi. Sementara menunggu, Siska mengobrol denganku.

"Udah baikan sama Romeo? Waktu itu nangis-nangis," kataku basa-basi.

"Hehe. Udah, Na. Kemarin aku sama dia maafan, terus ngopi bareng. Istrinya nelepon, tapi nggak nanya Romeo lagi sama siapa. Heran ya? Kayaknya istrinya nggak ada cemburu-cemburunya. Terus abis itu aku sama Romeo dugem bareng deh. Eh, tapi jangan bilang-bilang kalau aku nyeritain ini semua ya. Soalnya Romeo bilang, Ramina itu taunya Romeo lelaki baik."

Aku tercenung.

"Oh, gitu."

Mungkin aku memang terlalu naif berpikir dari awal bahwa perhatiannya pada Siska sekadar bentuk kebaikan terhadap sesama manusia. Nyatanya dia memang lelaki murahan. Jauh sekali dengan sang ayah.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang