🌼37🌼

2K 332 132
                                    


Besok seharusnya aku dinas sore. Itu artinya aku akan bertemu Rodie. Kemungkinan besar Yati juga akan datang ke rumah sakit untuk menjemput Rodie. Atas dasar itu aku bertukar jadwal dengan Siska supaya aku bisa masuk pagi dan tidak perlu bertemu Rodie maupun Yati sialan.

"Aku masuk sore jadinya ya, Na?"

"Iya, sorry banget aku nelepon malem-malem gini. Ada keperluan mendadak soalnya, Sis."

"Nggak apa-apa. Aku nitip satu pasien aja ya, Na. Besok pagi temennya paman aku mau meriksa kesehatan ke sana buat keperluan mendaki. Tarif pemeriksaannya tolong gratisin ya, Na. Tagihannya biar masukin ke bon aku aja. Dia orang yang dulu bantuin biaya kuliah aku. Jadi sekarang aku mau sedikit balas budi hehehe."

"Okay, Sis. Pasiennya atas nama siapa?"

"Pasiennya atas nama Pak Iandika Risjad Marhadi. Titip ya, Na."

"Siap. Laksanakan."

Telepon lalu ditutup.

Hatiku terasa sangat lega karena bisa masuk kerja pagi tanpa harus bertemu Rodie.

Keesokan harinya, semua berjalan dengan lancar. Untuk beberapa saat aku bisa terlupa dengan kisah cintaku yang mengenaskan karena fokus bekerja dan bertemu banyak pasien. Dari rekam medis yang menumpuk aku melihat rekam medis milik pasien bernama Iandika. Ah, ini pasien yang Siska titipkan. Aku langsung mengencangkan ingatanku supaya tarif pemeriksaannya digratiskan.

Setelah melewati serangkaian pemeriksaan, akhirnya Iandika keluar ruangan. Kuserahkan hasil pemeriksaan tadi padanya sambil memberi tahu bahwa dia tidak perlu membayar apa pun ke kasir.

"Ini hasilnya ya, Pak. Biaya pemeriksaannya sudah dibayar oleh Siska."

Wajah lelaki itu tampak terkejut.

"Serius, Non?"

"Iya, Pak."

"Aduh, saya jadi nggak enak. Jadi sekarang saya tidak perlu bayar apa pun?"

"Nggak perlu, Pak. Semuanya sudah dibayar Siska."

"Baik kalau begitu. Terima kasih ya, Non. Habis ini masih lanjut dinas?"

"Iya, Pak. Masih lanjut sampai jam tiga nanti."

"Selamat bertugas ya."

"Iya, Pak."

Tiba-tiba hatiku terhenyak.

Dari sekian banyak pasien yang kuhadapi, hanya sedikit yang punya perhatian macam ini. Mendadak hatiku terasa sangat lemah hanya karena satu kalimat sarat perhatian darinya. Entah kenapa perhatian dan rasa hangat yang dia berikan membuatku terharu, tersentuh, dan menganggap dia istimewa bagiku.

Aneh.

Bisa-bisanya aku meleleh hanya karena diberi perhatian sederhana macam itu.

Selepas kepergian Iandi, aku jadi tertarik untuk meneliti isi rekam medisnya lebih jauh. Kubaca data dirinya yang tertera di sana. Dia kelahiran tahun enam puluhan, sama seperti Rodie. Di usianya yang setua itu Iandi masih sangat bugar dan aktif mendaki gunung. Di depan namanya terdapat gelar insinyur yang berarti dia lulusan teknik. Alamat rumahnya tidak jauh dari rumah sakit ini. Aku bahkan bisa mengetahui agama dan status pernikahannya dari rekam medis ini. Cerai mati, begitu tertulis.

Hasil pemeriksaan fisik Iandi juga sehat. Tingginya seratus tujuh puluh lima sentimeter, sama seperti Rodie. Tekanan darahnya normal. Untuk lelaki seusianya itu sangat luar biasa. Anak muda jaman sekarang banyak yang menderita darah tinggi karena pola hidup yang tidak sehat, tapi Iandi masih bisa mempertahankan tekanan darah dalam rentang normal.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang