Aku terdiam memandang Rodie dari kejauhan. Caranya berjalan selalu membuatku terkesima. Tubuhnya tegap dan kokoh. Gagah sekali. Dia menoleh padaku sekilas, lantas melanjutkan langkahnya ke ruangan seakan tak ada yang terjadi.Rodie masih sama seperti sebelumnya; begitu steril. Dia mengangkat tangannya seperti panco, lalu mendorong pintu ruangan dengan tulang ulna. Rodie tidak menggunakan jari tangannya untuk membuka pintu, karena menurut Rodie gagang pintu di tempat umum itu kotor sekali.
Tidak pernah aku melihat lelaki seapik itu sebelumnya. Dia tidak suka lap tangan lembab di wastafelnya, dia anti memegang keran atau gayung di toilet umum dan memilih membawa botol air mineral, dia lebih baik membeli barang baru ketimbang memakai tensimeter bekas pasien. Sampai detik ini terkadang aku masih tertegun melihat pribadinya yang satu itu.
Selesai melihatnya melintas di kejauhan, seringkali hatiku merasa nelangsa. Aku menyadari betapa aku menginginkannya, tapi tidak bisa berbuat banyak dan itu sangat menyiksa. Tidak pernah aku memiliki keinginan sebesar ini sebelumnya. Keinginan yang begitu besar sehingga aku menembus batas pribadiku.
Terkadang aku berpikir, mungkin Rodie kelihatan indah karena dia jauh. Sama seperti bintang yang kelihatan indah karena dia berada di langit sana: tidak tergapai. Bisa dibilang aku mengibaratkannya seperti itu.
Pertemuan-pertemuanku dan Rodie sama halnya. Dalam keramaian, kami adalah asing. Seperti tidak mengenal satu sama lain dan justru saling mengabaikan. Tapi, jauh dalam hatiku, aku merasa akulah yang paling mengenal Rodie. Ruhku merasa tak asing pada ruhnya. Seringkali aku menebak apa yang akan Rodie lakukan, apa reaksi Rodie terhadap sesuatu, dan tebakanku seringkali benar. Aku seakan tahu apa yang dia rasa dan pikirkan.
Tapi lelaki itu tidak berubah. Di saat dia menyapa orang lain, mengangguk begitu ramah pada orang yang berpapasan dengannya, tapi dia tidak begitu padaku. Dia hanya melihatku sekilas, lantas membuang pandangannya ke arah lain atau menunduk. Sehingga terkadang aku merasa sangat tidak nyaman karena diperlakukan demikian.
Jika merasakan kesedihan itu, aku menghibur diriku dengan memikirkan apa yang kami lakukan di belakang orang-orang. Tentang ciuman kami dan sentuhan lainnya. Aku wanita yang bisa mendobrak kehidupannya yang privat. Dia mengabaikan wanita mana pun, tapi dia mengijinkanku masuk ke dalam lingkarannya. Mengingat itu semua, setidaknya rasa sedihku bisa sedikit terobati.
"Cuek banget ya?" gosip Siska ketika Rodie melintas.
Aku hanya mengangguk samar.
"Rasa-rasanya aku nggak pernah liat Prof Rodie senyum atau ketawa deh. Senyumnya cuma buat istrinya," kata Siska lagi.
"Eh, bukannya kamu pernah berobat ke Prof Rodie ya, Sis? Dia emangnya nggak senyum?"
"Jangankan senyum. Nada bicara dia aja nggak ramah."
"Oh...."
Rodie memang tipe yang seperlunya pada pasien. Dia tidak melibatkan pribadinya lebih jauh.
Orang-orang mungkin menganggap Rodie cuek, tapi aku tahu dia sebetulnya pencemburu berat. Tentu ada kebanggaan tersendiri ketika kita bisa mendapatkan yang tidak bisa orang lain dapatkan.
Selepas bekerja, aku pulang sendiri sementara Rodie menyelesaikan prakteknya. Rasanya kemarin lelaki itu memohon padaku untuk jadi istrinya. Tapi setelahnya... dia berperilaku seolah tidak ada yang terjadi. Dia tidak menyapaku, tidak mengirimiku pesan, tidak mengajakku pulang bersama dan sebagainya. Terkadang aku bingung dengan sikapnya hingga ke titik aku sempat berpikir: apakah dia melupakanku?
Rodie pernah beberapa kali salah mengira bahwa aku Itoh. Atau bahkan orang lain yang perawakannya mirip denganku. Aku curiga, selama ini dia mengabaikanku kalau bertemu karena dia lupa wajahku?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023