🌼19🌼

2.4K 315 77
                                    


Bagiku Yati itu seperti pahlawan kesiangan. Kelemahan Issa dalam urusan domestik dijadikannya sebagai celah memasuki rumah tangga Rodie. Yati hadir sambil meyakinkan bahwa dia punya sesuatu yang Issa tak punya. Bahkan dalam cerita sehari-hari pun Yati selalu memamerkan bahwa dirinya adalah seorang istri serba bisa, yang meski bekerja tapi tetap menguasai pekerjaan rumah dan merawat suami dengan baik.

Aku mungkin tidak bisa mencintai Rodie seperti yang Yati lakukan. Yati mungkin membuat Rodie terkesima lewat kemahiran wanita itu menyetrika baju, mengangkat jemuran dan mengoleskan salep di tubuh pegal Rodie. Tapi aku akan mencintai Rodie dengan jalanku sendiri. Bukan menuruti cara orang lain. Akan kubuat dia jatuh cinta memakai caraku yang muda, berwarna, meledak-ledak dan penuh gairah.

Tapi aku juga tidak bisa menyangkal peran penting Yati dalam hidupku. Kalau bukan karena ingin membalaskan dendam pada Yati, mungkin sampai saat ini Issa tidak akan mengijinkanku menikah dengan Rodie. Kalau Yati tak ada, mungkin akulah yang akan dibenci Issa.

Semakin lama aku semakin menyadari bahwa kehadiran Yati adalah bentuk takdir yang tidak bisa kuhindari. Dia adalah jalanku menyatu dengan Rodie. Jadi aku tidak akan terlalu ambil pusing kalau dia memanas-manasiku lagi. Lama kelamaan aku pasti terbiasa dengan jalan curam yang kupilih ini.

"Loh kok matanya bengkak? Abis nangis?"

Issa bertanya begitu waktu aku tiba di kediamannya untuk membicarakan rencana pesta pernikahan.

"Hehe, nggak kok, Bun. Kurang tidur aja kayaknya."

"Eh, kamu nggak akan pernah bisa ngebohongin bunda! Insting ibu-ibu itu kuat. Apalagi bunda dan kamu punya hati yang sama seperti kembar identik. Kenapa? Yati berulah, ya?"

Aku tercengang mendengar tebakannya tepat sasaran.

"Kenapa bisa tau, Bun?"

"Keliatan dari muka kamu. Lagian bunda sudah membaca kalau yang seperti ini akan terjadi karena Yati culas dan picik. Akhir-akhir ini bapak juga ngeluh katanya pusing meredakan konflik antar istri."

"Aduh maaf ya, Bun. Aku jadi ngerepotin. Mungkin karena baru pertama kali kayak gini. Jadi aku masih kaget."

"Memangnya Yati ngapain, Na?"

Aku terdiam sejenak. Aku tidak mungkin membeberkan pada Issa kalau Yati menjelek-jelekan nama baik Issa di depanku. Nanti justru mereka yang berkonflik makin panas. Aku ingin kehidupan rumah tangga kami baik-baik saja tanpa peperangan berarti.

"Hm, Yati terus aja pamer aku tiap dia dikasih sesuatu sama Prof Rodie. Prof Rodie juga lebih perhatian sama Yati. Aku jadi ngerasa kalau Prof Rodie lebih sayang sama Yati."

"Eh, jangan mau kalah, Na!"

Issa memberiku semangat sambil mengepalkan tangan. Aku sampai kaget melihatnya karena ternyata dia sangat suportif padaku.

"Kamu masih muda, segar, jangan mau terpengaruh sama Yati. Berikan sesuatu yang berbeda pada bapak. Tidak perlu meniru Yati. Buat bapak bernostalgia pada kehidupan masa mudanya yang indah."

"Boleh, Bun?"

"Boleh!" Issa mengangguk meyakinkanku.

"Waktu muda dulu bapak itu paling suka jalan-jalan sama bunda. Yang dekat saja dulu seperti melihat taman, foto-foto, beli barang yang bagus, makan bersama, ngobrol berdua sampai ketawa-tawa, nangis dan akhirnya ngantuk. Jadi kamu ajaklah dia jalan-jalan. Bapak itu orangnya suka belanja."

"Ah, gitu. Makasih banyak ya, Bun."

Aku sudah membayangkan kehidupan penuh warna yang akan kuberikan pada Rodie. Sepertinya menyenangkan.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang