Dia sudah pulang dari liburannya ke luar negeri.Hari ini kami bertemu ketika jam pulang. Aku berdiri di bawah selasar rumah sakit, menakar hujan apakah bisa aku lewati atau justru masih harus berteduh.
Ketika menoleh ke kanan, aku melihat Rodie berdiri membelakangiku. Jarak kami hanya satu meter. Aku bisa melihat kemeja membalut pundaknya begitu pas, serta rambutnya yang ditumbuhi uban jarang-jarang.
Di situ hanya ada kami berdua, tapi bahkan dalam jarak sedekat ini pun sama sekali tak ada tegur sapa yang tercipta. Semua ini membuatku sadar kalau kami ternyata memang sejauh itu. Jauh dalam artian... dia tidak menganggap keberadaanku sama sekali. Mungkin aku yang berdiri di sini sama seperti tembok belaka.
"Ayo, Prof."
Satpam datang memayunginya menuju mobil meski hujan yang turun sekadar rintik-rintik. Tak lama kemudian dia beranjak dengan mobil mewah. Sementara aku hanya bisa tertegun memandang kepergiannya.
Aku menadahkan tanganku ke langit, lantas berjalan menerobos membiarkan diriku terkena gerimisnya.
Kami sangat berbeda. Rodie tak mengijinkan tubuhnya kehujanan. Dia tetap diam di tempat sebelum satpam memayunginya, sementara aku berjalan bebas di bawah langit seakan mengolok Rodie yang manja.
Sepanjang perjalanan aku berandai-andai... coba saja tadi aku menyapanya. Pulang, Prof? Sudah selesai prakteknya, Prof? Iya? Hati-hati di jalan. Tapi aku tidak punya keberanian sebesar itu. Yang bisa kulakukan hanya tercenung menatapnya sampai semua kesempatan terlewat.
Sampai saat ini aku tidak mengerti. Kenapa aku bisa saling menyapa dengan siapa pun kendati tak kenal akrab, tapi tidak dengan Rodie. Seperti ada benteng tinggi yang membatasi kami.
Hatiku muram menyadari mungkin aku tidak akan pernah bisa bersamanya sampai akhir. Yang membuatku berpikir aku punya kesempatan, mungkin karena aku belum pernah mencobanya. Tapi begitu dihadapkan fakta bahwa dia tak melihatku sama sekali... maka aku sadar kesempatan itu tidak pernah ada.
Setiap malam aku tersiksa karena merindukan orang yang tak sepantasnya. Hatiku berkecamuk seperti orang sakit yang terjebak dalam penderitaan dan selalu berharap sembuh. Ya... aku telah memvonis diriku bahwa mencintainya adalah sebuah penyakit yang harus kusembuhkan.
Selama tiga minggu tanpa kehadirannya, aku pikir aku telah melupakannya. Aku baik-baik saja. Aku tidak mencintainya lagi. Namun, ketika dia kembali... aku sadar bahwa aku masih begitu menyukainya setengah mati.
"Nggak mungkin bisa."
"Nggak pantes."
"Mana ada profesor mau sama perawat."
Perkataan itu bukannya membuatku membenci orang yang bicara, tapi membuatku makin membenci diriku sendiri.
-o0o-
Aku tidak punya harapan apa pun lagi. Aku menjalani hari dengan hati yang kosong dan rela jika harus melanjutkan hidup ini tanpa mencintai siapa pun. Dianggap tak ada oleh orang yang kucintai cukup membuatku merasa terasingkan dari dunia.
"Na?"
"Iya, Bu?"
Enin Rini menghampiriku yang sedang sibuk mengerjakan berkas-berkas pasien.
"Tadi Prof Rodie nanyain kamu."
Sontak aku menghentikan pekerjaanku untuk menoleh tak percaya.
"Nanya apa?"
"Begitu datang ke ruangannya, dia nanya ibu. Katanya, itu siapa yang tadi duduk di nurse station?
Terus ibu bilang, Ramina, perawat dokter umum. Perawatnya dokter Romeo anak Prof Rodie."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomansaAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023