🌼42🌼

3.3K 321 60
                                    


Kalau melihat foto Ian, aku menyadari kalau dia ternyata sudah setua itu ya? Aku heran kenapa aku bisa menyukainya.

Tapi setiap aku merasa ragu dan meremehkan Ian, entah kenapa Tuhan seperti menunjukkan semua sisi baik Ian padaku. Biasanya setelah mengenal seseorang, aku bisa melihat kejelekan orang itu seiring waktu. Tapi untuk Ian... sejauh apa pun aku mengenalnya, aku hanya mendapat hal baik tentangnya.

Seperti hari ini, ketika aku mendatangi rumah Ian untuk pertama kalinya. Kudapati foto sang anak di ruang tamu mereka. Ian pernah bercerita padaku kalau anaknya bernama Bagus Andhika. Dia anak Ian satu-satunya. Mungkin karena itulah berbagai momen Dhika selalu Ian abadikan.

Kupandangi foto yang terpajang satu per satu. Ada foto wisuda Dhika. Rupanya pemuda itu menyandang gelar yang berbeda dengan sang ayah.

"Dhika sarjana ekonomi ya?"

"Iya."

"Kenapa nggak ngikutin jejak kamu jadi seorang insinyur?"

Ian tertawa.

"Sudah saya coba. Dia juga sebenarnya ada rasa tertarik ke bidang teknik, tapi pada akhirnya dia menolak. Dia tidak mau menggeluti bidang yang sama seperti saya karena katanya itu akan menjadi beban untuknya. Dia takut tidak bisa sehebat saya. Dia selalu merasa kalau saya sudah sangat hebat. Dia tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk lebih hebat dari saya. Padahal saya tidak menuntut apa pun, tapi Dhika selalu bilang kalau nanti orang-orang pasti akan membanding-bandingkannya dengan saya."

"Hm, gitu. Dia berpikir jauh ya."

"Iya, sebab itulah dia sangat berhati-hati menentukan jalan hidupnya. Padahal sudah saya tekankan berkali-kali kalau saya tidak menuntut apa pun. Saya juga tidak merasa saya yang terhebat. Biasa saja. Saya ini tidak ada apa-apanya kalau Tuhan mencabut semua kemampuan saya. Dengan mudahnya saya menjadi tidak berdaya. Tapi Dhika tetap bersikukuh memilih jalan yang berbeda dengan saya. Saya tidak bisa memaksakan kehendak. Saya hanya berharap Dhika bisa jadi yang terbaik di bidangnya."

Aku terdiam sejenak, mencerna kalimat terakhir Ian.

"Terbaik di bidangnya?"

"Iya. Pada akhirnya saya menerima jalan hidup apa pun yang Dhika pilih. Sebagai contoh, jika dia ingin menjadi seorang chef, maka jadilah seorang chef yang masakannya enak, dicari orang-orang, disukai banyak lidah. Semisal dia jadi tukang parkir, jadilah tukang parkir yang kreatif, sigap membantu para pengendara, amanah menjaga kendaraan mereka. Itulah yang saya maksud terbaik di bidangnya. Bukan bekerja asal dan malas-malasan."

Aku mengangguk-angguk.

"Kalau aku?"

"Kalau kamu... jadilah seorang perawat yang tulus membantu orang sakit. Setidaknya kamu bisa mengurangi kesulitan mereka dengan senyuman kamu, keramahan serta perhatian kamu, Sayang."

Aku memandang wajah Ian. Dia menatap kedua mataku dalam, tanpa berkedip, seolah ada sesuatu yang dia pikirkan di balik tatapannya.

"Bagi saya, pekerjaan kamu sangat mulia. Saya ingat... waktu dulu mendiang istri saya dirawat di rumah sakit. Perawat membantu menggantikan sprei dan memandikan istri saya di atas kasur. Tuhan tidak melakukan itu. Tuhan juga tidak mengganti kantung urin pasien yang penuh. Perawatlah yang melakukannya. Maka dari itu saya bilang, pekerjaan kamu adalah perpanjangan tangan Tuhan."

Aku tersenyum kecil.

Aku tidak tahu kenapa mataku mendadak terasa hangat. Barangkali karena aku merasa sangat diapresiasi.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang