🌼6🌼

2.4K 313 16
                                    


Seringkali aku memperhatikan barang milik Rodie seperti jam, baju dan sepatunya, lantas memberi merk yang sama dengannya. Tentu dengan model berbeda. Yang terlintas dalam benakku ketika membayar di kasir hanya: aku ingin sama seperti Rodie. Aku juga tidak mengerti mengapa demikian. Kalau kutelusuri lebih lanjut, mungkin aku melakukannya agar aku merasa dekat dengan Rodie lewat barang-barang yang dia gunakan. Setidaknya ada hal yang sama antara kami, terlepas dari kedudukan kami yang sangat berbeda. Hal kecil itu jadi penghiburan tersendiri bagiku.

Kali ini aku membeli sepatu skechers yang pernah membuatnya tersandung kaki sendiri di koridor rumah sakit karena dipakai asal-asalan. Secara mengejutkan, rasanya sangat nyaman. Mungkin ini yang membuat Rodie selalu memakai merk yang sama ke mana pun. Seingatku Rodie punya warna biru tua dan hitam yang bergantian dia gunakan.

"Aku mau langsung pakai sepatunya, Kak."

"Oh, silakan! Kalau begitu saya bantu masukkan sendal kakak ke dalam kardus sepatu ya, Kak."

"Makasih."

Melangkah dengan sepatu baru ini membuatku merasakan yang Rodie rasakan. Aku membayangkan itu semua hingga lubang di hatiku yang kesepian seakan terobati.

Sambil berjalan melewati toko demi toko dalam pusat pembelanjaan ini, beberapa kali aku melihat lelaki dengan potongan rambut seperti Rodie. Rasa yang kupendam padanya telah sampai pada titik aku melihat kehadirannya di mana-mana. Seolah semua yang kulihat jadi menyerupai dirinya. Meski pada akhirnya aku sadar bahwa mereka bukanlah Rodie yang kuinginkan.

Sejenak aku beristirahat sebentar, melihat sekeliling mall ini dari lantai dua ke bawah. Orang sibuk hilir mudik. Keadaannya begitu ramai, akan tetapi pikiranku begitu sunyi. Aku menelisik masa laluku ketika SMP. Saat itu aku pernah mengidolakan seorang panglima viking yang berusia jauh lebih tua dariku. Aku mengaguminya sampai mengoleksi foto-foto pria itu. Beranjak SMA, aku juga pernah menyukai bapak guru seni budaya. Ketika memandang artis idola, yang kubayangkan dari diri mereka adalah sosok tua mereka.

Semua ingatan itu membuatku menyadari satu hal... bahwa mungkin seleraku memang kolot sejak dulu. Ternyata aku telah mengidap penyakit ini sedari aku SMP.

-o0o-

"Na, siang ini kamu datang ke rumah Prof Rodie ya. Gantikan ibu yang berhalangan hadir," pinta Bu Rosy selaku kepala poliklinik sembari menyerahkan undangan berwarna hijau padaku.

Syukuran kelahiran putra/cucu kami:

Muhammad Zlatan Firdaus

Kepada yth Rosy
Di Tempat

"Apa ini, Bu?"

"Undangan syukuran cucunya Prof Rodie yang ketiga."

"Tapi aku nggak diundang, Bu. Nggak enak kalau tiba-tiba aku datang."

"Nggak apa-apa. Bilang aja kamu mewakili ibu yang nggak bisa hadir. Ibu harus antar anak ibu turnamen sore ini."

Wanita itu berbalik sebentar untuk sibuk dengan barang bawaannya.

"Ibu udah nyiapin kado untuk cucunya Prof Rodie. Kamu datang dan kasih ini, ya."

Aku hanya tercenung ketika Bu Rosy menyerahkan kado berbentuk kotak berukuran kira-kira lima puluh centimeter. Pasti isinya perlengkapan bayi.

"Mau ya, Na? Ibu juga udah kabarin Prof Rodie kalau Nana yang gantiin ibu datang. Jadi jangan sungkan."

"Baik kalau begitu."

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang