🌼20🌼

2.5K 297 53
                                    


Oleh-oleh dari Jepang pemberian Trifan kusimpan rapi di kamar. Isinya adalah cemilan aneka ragam, termasuk cokelat biskuit serta stik kentang yang sangat enak.

Berbeda dari perkiraanku, ternyata Rodie tidak mengusik pemberian Trifan. Kukira dia akan membuang cemilan itu waktu menemukannya. Ternyata reaksi Rodie tidak seheboh yang kukira. Dia hanya melirik sekilas, lantas melanjutkan kesibukannya di rumah ini tanpa berkomentar banyak.

Sejujurnya, aku ingin dia sedikit peduli. Tapi kenyataan berbeda dengan angan-angan. Setiap wanita mungkin mengkhayalkan pemeran utama lelaki yang sempurna, mencintai setengah gila, cemburuan parah, dan tidak akan mengijinkan wanitanya didekati lelaki lain. Sementara Rodie secara realistis terkadang berlaku cuek.

Hari ini aku batal masuk pagi karena secara mendadak Siska ada keperluan. Sehingga dia meminta bertukar shift. Aku sedikit lega karena itu artinya aku tidak akan bertemu Trifan yang katanya akan kontrol pagi hari.

Begitu datang ke rumah sakit, aku melihat Yati sudah duduk manis di nurse station. Aku jadi teringat sesuatu.

"Ada yang mau aku omongin."

Wanita itu mendongak dari tempatnya duduk. "Apa, Na?"

"Kemarin ibu ngadu sama Prof Rodie kalau aku dideketin pasien?"

"Iya."

"Supaya apa, Bu? Biar aku sama Prof Rodie berantem? Aneh ya. Kok ibu kayaknya seneng kalau liat aku sama Prof Rodie nggak akur."

"Maaf ya. Saya nggak ada maksud ke situ. Tapi setidaknya berkat hal itu kalian bisa jadi lebih intim kan?"

Dahiku mengerut heran.

"Tau dari mana?"

"Saya liat leher sama dada Mas Rodie waktu pulang dari rumah kamu. Kamu beruntung, Na. Saya tidak pernah lagi disentuh Mas Rodie semenjak hamil. Tanya dia kalau tidak percaya. Saya juga nggak ngerti kenapa Mas Rodie seperti itu. Mungkin kedengarannya sepele, tapi hal sepele ini bikin saya selalu bertanya-tanya, apa saya menjijikan sampai Mas Rodie tidak mau menyentuh saya lagi? Apa saya ada salah atau kekurangan dalam melayaninya? Atau ada hal yang tidak dia suka dari saya? Saya jadi membenci diri saya sendiri karena masalah ini."

Aku terdiam melihat Yati bercerita dengan mata berkaca-kaca. Timbul rasa kasihan di hatiku mendengar betapa malang nasibnya. Tapi aku lebih kasihan lagi pada Rodie. Kubayangkan betapa berat balasan yang akan Rodie tanggung nanti kalau gagal memperlakukan istrinya dengan adil.

"Na!"

"Eh, Teh Itoh."

Yati langsung membalik badan ketika Itoh datang. Dia menjauh beberapa langkah untuk menyembunyikan air matanya.

Aku melirik jam dinding. Rodie sudah terlambat lima belas menit. Tumben sekali. Biasanya dia datang tepat waktu.

"Mas Rodie mana ya?" gumam Yati sambil nelihat-lihat ke arah koridor rumah sakit. Hidung wanita itu masih merah.

"Udah dateng kok, Bu. Tadi aku ketemu waktu mau ke sini. Prof Rodie lagi ke instalasi farmasi."

"Wah, iya? Lagi ngapain ya?"

Itoh langsung tertawa geli sendiri.

"Tadi sih denger-denger Prof Rodie lagi beli kondom. Hihi. Ciee Bu Yati. Ciee ciee."

Aku meneguk ludahku. Itoh pasti mengira kalau kondom itu dibeli untuk berhubungan dengan Yati. Padahal target sebenarnya ada di sini: sedang pura-pura tak tahu menahu.

"Aku tadi langsung inget Bu Yati waktu Prof Rodie beli kondom. Soalnya dokter Issa kan udah nggak mungkin hamil lagi. Jadi aku pikir, pasti buat Bu Yati. Hehe, maaf ya, Bu."

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang