🌼41🌼

2.1K 303 92
                                    


Aku tidak pernah melihat Ian marah, bahkan ketika situasi mendesaknya. Seperti waktu dia mendampingiku melahirkan dan dimarahi Rodie. Ian menanggapi semua itu dengan sabar. Aku jadi merasa tidak enak hati melihat dia dimaki-maki Rodie dengan nada tinggi.

Sepulang dari rumah sakit, aku mengucapkan maaf untuknya di rumahku.

"Maaf ya. Kamu dimarahin Rodie waktu nemenin aku melahirkan. Omongan dia jangan terlalu dimasukin ke hati."

"Nggak apa-apa. Saya ngerti kok. Dia pasti panik, maka dari itu dia jadi emosian."

"Maaf ya. Aku nggak tega liat kamu dimarahin dia."

"Tenang aja, Sayang. Saya baik-baik aja kok. Kamu nggak perlu khawatir."

Dia mengusap tanganku lembut.

"Sekali lagi selamat atas kelahiran Rora, ya. Kamu hebat sudah berjuang sekuat itu. Pasti rasanya sakit banget ya? Saya ada hadiah buat kamu. Mudah-mudahan hadiah ini bisa mengobati rasa sakit dan lelah kamu setelah melahirkan. Diterima ya."

Ian menyodorkanku sebuah kotak kecil. Aku tercenung sejenak dengan dada yang mendadak berdebar. Kubuka hadiah itu di hadapannya, lantas kudapati sebuah jam tangan mungil berwarna perak, bermerk cartier.

"Hah? Serius?"

"Iya. Kamu suka?"

"Suka, tapi kan—ini mahal banget."

"Sudah, terima saja kalau memang kamu suka. Tidak usah pikirkan harganya. Itu urusan saya. Kemarin kan kamu cerita tentang jam tangan ini. Sekarang kamu pakai ya."

Dia mengenakan jam tangan itu di tangan kiriku. Ukurannya pas. Bentuk jamnya cocok dengan tulang lenganku. Tidak terlalu besar. Warnanya yang perak juga serasi dengan warna kulitku sehingga tampak bersinar.

Di sisi lain, Ian mengeluarkan cincin berwarna perak dan memasangkannya di jari manisku.

"Dengan ini saya melamar kamu. Maukah kamu menikah sama saya?"

Aku tercekat. Duniaku seperti berhenti sebab aku tidak menyangka kalau semuanya akan secepat ini. Ian memandangku sambil tersenyum, menanti jawabanku.

"Iya, aku mau."

"Alhamdulillah. Makasih ya, Non."

Lelaki ini punya semua yang kuharapkan. Aku tidak mungkin menolaknya.

Dalam waktu singkat, hidupku bergerak sedemikian cepat. Berotasi seperti bumi. Aku sendiri tidak menyangka kalau aku akan meninggalkan hidup yang menyakitkan bersama Rodie. Lelaki itu memang masih rutin mengunjungiku ke rumah. Berdalih bahwa dia ingin bertemu Rora. Tentu saja aku tidak bisa mencegahnya bertemu sang anak. Rora bayi juga pasti senang bisa digendong dan diciumi ayahnya.

Yang menjadi pertimbanganku setiap Rodie datang ke rumah adalah... dia selalu berusaha mendekatiku dengan berbagai cara. Rodie pernah menumpang mandi di rumah ini, aku tidak punya pikiran buruk apa pun. Aku hanya berpikir, oh mungkin dia ingin mandi karena merasa kotor setelah dari rumah sakit. Jadi dia ingin membersihkan dirinya sebelum menggendong Rora.

Tapi kemudian pria itu keluar dari kamar mandi dengan selembar handuk. Dia berusaha mendekatiku yang sedang menyusui Rora.

"Non, ayo sekali. Sekali aja."

"Sekali? Sekali apaan?!"

"Ayo."

"Dih, apaan sih! Kita udah cerai!"

Aku berteriak histeris sampai Rora dalam pelukanku menangis juga. Aku berusaha menenangkannya, selagi di sisi lain aku juga berusaha menghindari Rodie yang terus mendekat seperti akan memangsaku.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang