🌼51🌼

3K 332 75
                                    


Hari ini Rodie datang terlambat sekitar setengah jam. Tanpa bertanya, aku sudah mendengar kabar dari obrolan Itoh dan Enin bahwa Rodie baru selesai ziarah ke makam Issa.

"Rindu mungkin ya?" tanya Itoh.

"Iya, Neng. Kemarin kan mata Prof Rodie bengkak. Waktu ibu tanya kenapa? Prof Rodie jawab, abdi mimpi Alm Issa."

"Gimana mimpinya, Bu?"

"Ah, nggak tau. Ibu nggak nanya. Nggak enak, Neng."

"Oh, iya."

Aku menguping pembicaraan mereka sembari mengisi rekam medis pasien. Separuh kesadaran diriku melayang, memikirkan bagaimana isi mimpi itu. Aku sangat penasaran. Selama ini Issa jarang sekali mendatangiku lewat mimpi. Aku jadi penasaran kira-kira mimpi apa yang Rodie dapat sampai matanya bengkak karena menangis?

Sepertinya Rodie sangat merindukan Issa. Mungkin lewat mimpi itu Rodie sadar kalau tidak ada wanita yang lebih baik dari Issa. Aku juga merasa sangat bersalah karena tidak bisa jadi sebaik Issa. Tapi apa boleh buat.

Sore ini seharusnya aku kontrol kandungan ditemani Rahmat. Tapi beliau berhalangan hadir karena harus menghadiri suatu acara. Aku tahu hal ini pasti akan terjadi karena dia memang orang sibuk. Dari awal aku memang sudah memperingati diri sendiri bahwa aku tidak bisa terlalu bergantung padanya. Jadi sekarang, mau tidak mau, aku harus kontrol kandungan sendiri pada Rodie.

Ketika Rodie melintas, dia menyapa seorang keluarga pasien, yang kupikir adalah temannya karena mereka kelihatan akrab.

"Eh, Supri? Sehat?"

"Hehe sehat. Ini saya nganter adik saya, Rod."

Lelaki itu menunjuk wanita di sisinya.

"Prof," ucap si wanita sembari tersenyum. "Kelihatan lebih seger sekarang. Lebih ganteng. Apa karena potongan rambutnya?"

Rodie tidak menanggapi apa pun. Dia hanya masuk ke ruangannya.

Kurasa Rodie memang dingin. Lelaki lain mungkin sudah menanggapi kalau dipuji begitu. Atau minimal tersenyum, tapi Rodie hanya berlalu. Di samping dirinya yang mesum, Rodie memang punya sisi yang sulit disentuh. Ibaratnya... susah sekali membuat Rodie luluh, tapi begitu berhasil maka Rodie akan sangat bucin. Sama seperti yang dulu dia lakukan padaku.

"Bener kan, Teh? Sekarang Prof Rodie kelihatan lebih seger. Saya mikir, apa yaa yang beda? Kayaknya dari potongan rambutnya yang tebal seperti anak muda. Dulu kan potongan rambutnya tipis dan beruban. Iya kan, Teh Itoh?"

"Hehe. Iya, Bu."

Ya ampun, masih saja dibahas. Sepertinya ibu tadi tengsin karena tidak ditanggapi oleh Rodie.

"Atas nama Ramina," panggil Enin Rini.

Giliranku tiba. Segara aku berjalan ke ruangan Rodie.

"Permisi."

"Silakan."

Dengan hati-hati, aku duduk di kursi pasien.

"Maaf ya nunggu lama. Saya telat. Tadi saya ziarah dulu ke makam bunda."

"Iya, nggak apa-apa, Prof."

Selanjutnya Rodie memeriksaku. Aku tidak banyak bicara. Aku hanya menuruti intruksinya.

"Kamu masih suka sedih ya?"

Aku terdiam beberapa saat, mencoba mencerna pertanyaannya.

"Hah? Iya."

"Janin kamu ikut stres."

"Oh...."

Kukira dia sudah baik-baik saja.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang